Kamis, 01 September 2011

Aku Bukan Martin

Aku Bukan Martin

by R.L Stine from Nightmare Hour (Indonesian version)

ditulis ulang oleh Sierra

Hal pertama yang kuperhatikan tentang rumah sakit adalah dinding-dinding hijau yang memuakkan. Warna pudar yang membosankan. Nyaris kelabu. Warna langit ketika terjadi badai hebat.

Ada yang menggantungkan pita-pita oranye dan hitam dari langit-langit karena sekarang Halloween. Beberapa pintu ditempeli penyihir-penyihir dari karton dan lentera-lentera jack-o’.

Tapi dekorasi-dekorasi itu tak membantu. Bahkan jika kau gembira, warna muram dinding-dinding itu akan mengubah suasana hatimu menjadi sedih, cemas dan takut.

Tentu saja aku tidak gembira ketika berjalan diapit kedua orangtuaku menyusuri koridor hijau panjang itu menuju ke kamarku di rumah sakit.

Mom meremas tanganku. Tangannya hangat, tanganku dingin dan lembab.

“Tak ada yang perlu kau cemaskan, Sean,” katanya pelan. Tatapannya lurus ke depan. Sepatunya berdetal-detak di lantai ubin yang keras.

Sambil berbisik Dad membaca nomer-nomer kamar setiap kali kami melewati pintu hijau. “B-dua belas… B-empat belas… B-enam belas… “

“Mengeluarkan amandel itu Cuma operasi kecil,” kata Mom. Ia sudah seratus kali mengatakannya.

“Tenggorokanmu akan sakit beberapa hari. Lalu sesudah itu kau akan sembuh.”

Klik klik klik bunyi sepatu Mom bergema di sepanjang koridor panjang mirip detik jarum jam.

Sebuah jarum jam sedang berdetik pada saat-saat menuju kiamat…

“Tapi kenapa aku mesti dioperasi?” rengekku. “Selama ini aku kan tumbuh bersama amandel itu!”

Mom dan Dad tertawa. Aku selalu bisa membuat mereka tertawa. Bakat yang jadi berguna setiap mereka marah padaku. Tentu saja, hari ini mereka tidak marah. Tapi aku selalu bercanda disaat cemas.

“Bayangkan saja. Kau tak lagi menderita sakit tenggorokan tiap kali kedinginan,” kata Dad, tatapannya tetap terpancang pada nomer-nomer pintu. “Kelenjarmu tak bengkak lagi.”

“Whoop-de-doo,” gerutuku. “Tak ada temanku yang operasi amandel. Kenapa aku harus mengalaminya? Dan di hari Halloween lagi?”

“Cuma karena kau beruntung,” sahut Dad.

Dia jagoan bercanda juga.

“Tapi Halloween hari favoritku!” kataku. Aku suka sekali menakut-nakuti orang dan di takut-takuti. Aku tak tahu bahwa ini akan berubah jadi Halloween-ku yang paling menyeramkan.

~

Ketika kami berbelok di sudut, aku mendengar seorang anak sedang menangis keras.

Mom mendesah. “Begitu banyak anak di rumah sakit ini, Sean. Anak-anak yang memang sakit. Kau seharusnya ingat betaba beruntungnya dirimu. Begitu bayak anak di sini yang sakit parah.”

Beberapa saat kemudian kami menemukan seorang anak yang sakit parah.

Namanya Martin Charles. Kubaca namanya di bagian atas catatan yang digantung di bagian kaki ranjangnya.

Aku melihat Martin ketika kami berdiri di pintu kamar B-22 yang terbuka. Ranjang Martin di samping jendela. Sebuah ranjang kosong---ranjangku---berseberangan dengan ranjangnya, menempel ke dinding hijau suram.

Kupandangi teman sekamarku yang baru. Ia pendek, matanya hitam, dan rambut coklatnya sangat pendek. Ia duduk di tepi ranjangnya, mengayun-ayunkan kakinya, melotot pada dua orang perawat yang berseragam putih.

“Aku bukan Martin!” serunya.

Salah satu perawat memegang jarum suntik. Perawat satunya bersusah payah menyingkap lengan pakaian rumah sakit Martin yang berwarna hijau.

“Martin, sudahlah…” ia memohon.

“Aku bukan Martin!” teriak anak itu lagi. Ia merenggutkan lengannya dari pegangan si perawat.

Si perawat berseru kaget dan melangkah mundur. “Martin kami cuma memerlukan contoh darah,” kata perawat yang satunya.

“Aku bukan Martin! aku bukan Martin!” jerit anak itu, sambil memukul-mukul ranjangnya dengan kedua tinjunya.

“Ya, ya. Kami berdua salah mendengarnya,” gerutu si perawat.

Lalu perawat itu berbalik dan melihat kami berdiri di pintu. Ia menurunkan jarum suntiknya dan melangkah beberapa kali menghampiri kami. “Kau Sean Daly?” tanyanya.

Aku mengangguk.

“Ranjangmu di sebelah sana, Sean,” kata perawat itu. “Bagaimana rasanya tenggorokkanmu?”

“Agak sakit,” aku mengaku. “Sakit tiap kali dipakai menelan.”

Ia tersenyum pada kedua orangtuaku. “Silakan menaruh barang-barang Sean di sana. Kau bisa berbenah. Gunakan lemari yang dekat ranjang itu.”

Aku mengikuti Mom dan Dad melintasi kamar itu. “Kenapa sih anak itu?” tanyaku.

Mom mengangkat jarinya ke bibirnya. “Ssshhhh. Kelihatannya dia sangat ketakutan.”

Aku ingin melihat apa yang dilakukan para perawat itu padanya. Tapi salah satu perawat menarik tirai di antara ranjang-ranjang.

Sekarang suaranya sulit terdengar. Tapi aku membongkar isi tasku, aku masih dapat mendengar anak itu protes. “Aku bukan Martin! Aku bukan Martin! Jangan ganggu aku. Aku bukan Martin!”

Beberapa menit kemudian tirai itu terbuka beberapa kaki, dan salah satu perawat melangkah ke tempat kami. Ia menggeleng-geleng. “Anak malang,” katanya pelan.

“Ada apa dengannya?” tanyaku.

Perawat itu menyodorkan pakaian rumah sakit yang berwarna hijau. “Martin akan menjalani operasi besar besok pagi,” sahutnya, sambil melirik kearah tirai. “Dia sangat ketakutan, kukira dia meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia adalah orang lain.”

“Maksudmu---?”aku mulai.

Ia menarik kembali penutup ranjangku. “Anak itu mencoba menipu kami sejak datang ke rumah sakit ini. Dia bersikeras dia bukan Martin. Dia ingin kami mengira telah mendapatkan anak yang salah.”

“Itu memprihatinkan,” kata Mom dengan sedih, sambil menggeleng-geleng.

“Dikiranya kalau bisa meyakinkan kami kalau bahwa dia bukan Martin, dia tak kan dioperasi.”

“Apa kau yakin tak salah anak?” tanya Dad.

Perawat itu mengangguk dengan muram. “Ya, kami merasa pasti dia Martin Charles. Tak peduli berapa kali pun dia menyangkalnya.”

“Operasi apa yang akan dijalaninya?” tanyaku padanya.

Ia mendekatkan mukanya ke telingaku dan berbisik, kaki kirinya harus diamputasi.”

~

Para dokter dan perawat keluar-masuk kamar itu sepanjang sore. Mereka menjelaskan untuk keseratus kalinya tentang bagaimana operasi amandel dilakukan dan memberitahuku apa yang diharapkan.

Mom dan Dan tinggal sampai waktu makan malam. Sulit mencari bahan penbicaraan. Aku tak bisa berhenti memikirkan Martin.

Bayangan mempunyai kaki yang dipotong saja membuat kakiku gatal sekali dan perutku tegang.

Tidak heran ia sangat ketakutan.

Setelah makan malam suasanya menjadi sunyi sekali. Aku dapat mendengar bayi menangis di koridor sana. Kudengar telepon-telepon berdering dan perawat-perawat bercakap-cakap lirih di luar pintu.

Aku mencoba berani. Tetapi aku merasa benar-benar sendirian sesudah Mom dan Dad pergi.

Sekarang Halloween, pikirku. Seharusnya aku tak di sini. Aku mulai membayangkan hantu-hantu, mumi-mumi, dan vampir-vampir diam-diam melayang turun ke lorong-lorong rumah sakit itu.

Aku mengambil buku dan berusaha membaca. Tetapi aku tidak dapat berkosenterasi. Kupingku waspada mendengar setiap suara rumah sakit. Kudengar kereta-kereta berderik melewati lorong. Suara-suara berbisik. Bunyi blip blip blip seram yang berasal dari sejenis mesin.

Buku itu kututup. Aku tak bisa membaca. Aku harus bicara dengan seseorang, putusku.

Aku menarik nafas dalam-dalam, menarik tirai membuka, dan menyapa teman sekamarku.

“Aku Sean Daly,” kataku. Besok aku operasi amandel.”

Ia sedang duduk di tempat tidur, membaca komik. Ia mambalik halamannya, lalu memandangku. Ada noda spageti di dagunya dari makan malam.

“Kau Martin, kan?” tanyaku pelan.

Ia membuka mulut dan berteriak, “Aku bukan Martin!”

“Oh. Maaf.” Aku meloncat mundur.

Kenapa aku jadi menyebalkan? Tanyaku dalam hati. Kenapa aku ngomong begitu?

Aku duduk di tepi ranjangku. Pakaian rumah sakit tersingkap hingga ke atas lututku. Aku menariknya ke bawah. Aku tak terbiasa memakai pakaian sekonyol itu.

“Kau suka membaca komik?” tanyaku.

“Sesungguhnya tidak,” sahutnya. Dilemparkannya komik itu ke lantai. “Martin yang suka membaca komik. Tapi aku tidak.”

“Oh.” Aku menelan ludah. Anak itu memang anah sekali, pikirku.

Aku tidak dapat menahan perasaan ingin tahuku. Beberapa kali aku melihat sekilas ke kakinya. Tapi kedua kakinya dibalik selimut. Aku tak dapat melihat apa-apa.

Uh… sekolahmu dimana? tanyaku.

“Aku tak sekolah di sekolah Martin,” sahutnya, menatapku dengan aneh. “Aku ke sekolah yang lain.”

Ih, seram. Aku menyesal telah mengajaknya bicara. Tapi terlambat.

“Dimana?” tanyaku.

“Middle Valley,” jawabnya. “Lumayan.” Ia berhenti memandangiku dan mulai santai. Kami ngobrol tentang sekolah kami, saudara-saudara kami, bioskop, dan olahraga.

Lalu kami bercakap-cakap tentang betapa kami kehilangan Halloween, terkurung di rumah sakit yang mengerikan ini. Itu membawa kami mulai membicarakan jenis-jenis permen kesukaan kami.

Kami masih ngobrol ketika perawat masuk pukul 22.00. “Ini kesempatan terakhirmu untuk minum air, Martin,” kata si perawat.

Martin meninju ranjangnya. “Aku bukan Martin!” serunya. “Aku tak perlu dioperasi!”

“Sudahlah---“ Perawat itu memandangnya dengan marah. “Itu sudah cukup, oke, Martin?”

“Aku bukan Martin! Aku bukan Martin!”

“Apa pun katamu,” kata si perawat, sambil memutar bola matanya. Ia berbalik padaku. “Bagaimana keadaanmu, Sean?”

“Baik, terima kasih,” sahutku pelan.

Ia mengucapkan selamat malam dan melangkah keluar.

Kudengarkan langkahnya di sepanjang koridor. Kemudian aku berbalik ke Martin. Ternyata ia sedang memandangiku tanpa berkedip.

“Apakah kau ngorok?” tanyanya.

“Maaf, apa?” Pertanyaannya mengagetkanku.

“Kau ngorok tidak kalau tidur?” tanyanya.

“Uh… rasanya aku ngorok.”

Ia kembali mengawasiku sesaat. Lalu ia meraih tirai dan menariknya menutup.

“Sekarang aku capek,” katanya dingin.

~

Rasanya aku tidak akan pernah bisa tidur. Para perawat bercakap-sakap di koridor luar sana, dan kudengar seorang anak perempuan terbatuk-batuk terus di kamar dekat situ. Tetapi diluar dugaanku, aku terlelap dengan cepat ke dalam tidur yang nyenyak.

Aku bermimpi banyak dan seram.

Dalam salah satu mimpi aku sedang dikejar di sepanjang lorong hijau panjang oleh seseorang yang tak dapat kulihat. Dalam mimpi lainnya anjingku lebih besar daripada aku. Ia menggigitku dan menyeretku berkeliling-keliling. Lalu aku berubah menjadi lentera jack-o’ yang meringis dan menggelinding.

Tapi dalam mimpiku yang paling jelas, aku sedang berada di rumah sakit. Aku melihat seorang anak laki-laki di kaki ranjangku. Ia memegang dua papan pencatat dengan catatan-catatan medis. Aku hanya bisa membaca nama di bagian atas satu catatan medis : MARTIN CHARLES

.

Anak itu menggantung catatan medis di ranjangku. Lalu sambil tersenyum ia mengendap-endap pergi, dengan mengempit catatan medis lainnya.

Ketika bangun aku merasa tidak pasti apakah aku masih bermimpi atau tidak.

Dua laki-laki dengan dalam jas lap putih berdiri di samping ranjangku. Mereka mendorong kereta panjang ke arahku. Salah satu dari mereka mengambil catatan medis dari ujung ranjangku. “Ini dia,” katanya kepada partnernya.

“Hah?” Aku menatap mereka, masih setengah tidur. Apa yang terjadi? Tanyaku dalam hati.

Mereka mengangkatku pelan-pelan dan memindahkanku ke atas kereta itu.

“Tenang saja, Martin,” kata salah satu dari mereka, sambil melepaskan selimut dari peganganku.

“Tidak---tunggu---“ semburku. Aku berusaha duduk. “Aku bukan Martin!”

Salah satu dari mereka menahanku tetap berbaring. Yang satunya memeriksa catatan medis itu lagi, sambil membaca nama itu keras-keras “Martin Charles.”

“Ayo kita pergi,” kata partnernya.

Mereka mendorongku ke pintu.

“Tidak---berhenti!” jeritku. “Aku bukan Martin! Sungguh! Kalian salah besar! Dia---dia yang Martin!” Aku menunjuk ke kamar.

Mereka mendorong kereta itu di sepanjang lorong kosong. Roda-roda berderik keras di atas lantai ubin.

“Kami sudah diperingatkan bahwa kau akan bilang begitu,” kata yang lebih tinggi. “Kata mereka kau selalu berbohong tentang namamu sejak datang. “

“Mereka bilang kami tak usah menggubrismu,” tambah partnernya.

“Tapi aku bukan Martin!” jeritku sekuat tenaga. “Tolong---kalian harus mendengarkanku! Aku bukan Martin! Aku bukan Martin! Aku bukan Martin!

Mereka mendorong kereta itu ke dalam lift yang terbuka.

Di ujung lorong itu Martin melongokkan kepalanya ke luar kamar kami. Tangannya melambai, mukanya menyeringai lebar.

Kemudian pintu lift menutup di belakangku.

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Free Samples