Kamis, 01 September 2011

Sam Roder, I think I love you... (Chapter 4 & 5)

Sam Roder, I think I love you... (Chapter 4 & 5)

Story by damnxrightxitsxanna from Storywrite

Translated by Sierra

[Chapter 4]

Tak ada pesan di kotak suratku seperti yang kuharapkan. Itu sedikit membuatku putus asa dan kacau. Hari Mingguku dipenuhi kegalauan karna besok adalah hari Senin, khawatir kalao Sam tidak baik-baik saja, dan rasa malu karna terus memikirkannya. KENAPA AKU HARUS PERDULI? Ugh. Semua ini hanya membuatku semakin kesal.

[Chapter 5]

Akhirnya hari senin tiba. Bukan karna aku sangat bersemangat atau apa. Ini hanya karna pertanyaan yang mengusik otakku sepanjang malam. Karna itu aku terbangun dengan lesu dan muka masam. Langit terlihat mendung yang membuat mood ku tidak terlalu bagus hari ini.

Aku cenderung berpakaian sesuai bagaimana yang sedang kurasakan jadi pakaianku hari ini benar-benar boring. Kaos abu-abu, celana hitam, dan hoodie hitam. Sekilas aku nampak seperti emo atau gothic atau depresi yang sedikit banyak sedang kurasakan kali ini.

Mom coba menyembunyikan perhatiannya ketika aku turun kebawah dengan penampilan seperti ini. Aku mengambil sekotak sereal dan menuangkan susu diatasnya. Aku sedikit membenci sereal yang menyebabkan susunya menjadi seluruhnya manis. Setelah membuangnya ke tempat sampah, aku menyambar tas ku dan pergi tanpa berkata bye pada mom.

Sekolah dipenuhi dengan cewek-cewek yang OMG dan cowok-cowok tukang pamer yang mengendarai skateboardnya. Tak ada Sam. Apakah dia absent? Sebagian otakku merasa lega dan sebagian lagi merasa kecewa.

“Hey Reyna,” sebuah suara familiar menyapaku.

Aku berbalik dan dia disana. Semua pertanyaanku kemarin membanjiri mulutku tapi aku berusaha menahannya.

“Uhh… hey.”

Dia tersenyum, tapi bukan senyum ultra cerah seperti biasanya. Lebih kepada senyum maaf-karena-pertengkaran-kemarin.

“Kamu mungkin punya serangkaian pertanyaan untukku kan?” tabaknya.

Taruhanmu benar, kataku dalam hati tapi yang keluar malah,

“Yeah, sepertinya.”

“Aku mengijinkanmu bertanya satu pertanyaan. Satu saja, ‘key?” katanya, muram.

Dengan segera aku menentukan pilihanku. Aku memutuskan untuk memulainya dengan apa yang ku kupikir paling penting ditanyakan.

“Siapa itu Mark?”

Okay, mungkin ini pertanyaan yang cukup signifikan. Tapi mulutku tergelitik untuk bertanya. Sam menghela nafas panjang sebelum memulai.

“Aku mengenalnya sejak di tingkat pertama. Dia dulu sahabat baikku. Tapi dia mengkhianatiku. Aku tahu ini terdengar sangat dramatis, tapi aku benar-benar tidak menyukai itu. Aku dulu punya seekor anjing, dia adalah sahabat baikku karna dulu aku sangat kesepian. Ruffs mati karna kangker setahun yang lalu. Aku pergi ke Mark, tapi dia sama sekali tidak merasa prihatin. Dia hanya menertawakannya dan berkata anjingku pasti akan mati cepat atau lambat. Menyedihkan, huh? Bagiku untuk merasa marah itu masih…”

Itu menyedihkan. Itu menyedihkan dan membuktikan bahwa dia sebenarnya lebih innocent dari yang pernah kukira. Ceritanya membuatku merasa bersalah tentang semua pikiran buruk yang pernah kupunya tentangnya.

“Sam…”

Dia terlihat seperti akan menangis dan itu hal terakhir yang kulihat sebelum bel berbunyi. Aku orang yang jahat. Lari ke kelas saat seorang cowok butuh dihibur. Tapi tak ada yang bisa kukatakan.

Balajar sangat jauh dari pikiranku selama jam pelajaran, satu sampai empat. Alih-alih membeli makan siang aku membeli snack dari mesin penjual snack. Sebotol Gatorade dan sekantung Doritos. Memegangnya dengan erat aku pergi mencari Sam. Dia ditempat pertama kali aku melihatnya, tempat dimana tak ada siswa lain disana.

“Hey,” aku menyapa dengan kereciaan palsu.

“Hey,” dia membalas, tidak terlalu bersemangat.

Aku duduk disebelahnya dan meneguk minumanku. Kuharap dia tidak kecewa bercerita padaku tentang anjingnya. Aku punya banyak sekali pertanyaan yang butuh dijawab olehnya. Tapi kupikir satu sudah cukup untuk hari ini. Ini cukup membuatku tidak nyaman, duduk diam disebelahnya.

“Benar-benar bagus jika kamu sangat mencintai anjingmu,” kataku, “Dia sangat egois melakukan hal itu.”

“Aku tidak butuh simpati hanya karna kamu mengasihaniku.”

Aku mengasihaninya. Sungguh, ini bukan simpati karena aku belum pernah memiliki peliharaan sebelumnya. Mom bukanlah penggemar peliharaan di rumah. Aku hanya tidak tahu apa lagi yang harus dikatakan. Aku bodoh dalam hal ‘membuat orang merasa lebih baik’. Ugh! Apa yang harusnya kukatakan?

“Aku tak pernah benar-benar punya sahabat…”

Wow. Itu tadi hal terhebat untuk dikatakan, Reyna. Cara untuk membuat seseorang merasa lebih baik.

“Er, Aku harus pergi ke toilet. Bye,” kataku.

Menimbang dari pengalamanku, apa yang orang butuhkan adalah waktu beberapa saat untuk sendiri. Well, itu bukan alasanku pergi meninggalkannya, tapi aku akan menganggapnya seperti itu. Di toilet aku mulai panik. Aku super nervous dan baru menyadari tanganku berkeringat seperti orang gila saat itu terjadi. Aku mencoba mengelapnya pada jinsku tapi kelihatannya mereka semakin banyak berkeringat.

Terima kasih Tuhan untuk bellnya. Aku akan merasa sangat bahagia bila pelajaran selanjutkan bukanlah olah raga. Untuk menghilangkan beban pikiranku, aku sebetulnya mencoba olah raga. Aku berusaha mendapatkan bola dan mengejutkan dengan membuat gol. Berkeringat dan kelalahan, aku pergi mengikiti pelajaran ke enam. Memperhatikan pelajaran matematika adalah hal mustahil bagiku jadi akhirnya aku hanya mencoret-coret buku selama jam palajaran berlangsung.

Ketika meninggalkan kelas, hujan turun. Sial, aku tidak membawa payung. Dengan tudung jaketku, aku berjalan meninggalkan sekolah, menundukkan wajah sehingga dia tidak akan menyadari keberadaanku. Tak seorangpun menepuk pundakku atau muncul begitu saja dari suatu tempat. Huh? Mungkin dia tidak mau bicara dengan orang membosankan sepertiku sama sekali, aku menyimpulkan. Hujan menyusup hingga ke hoodie yang kukenakan dan aku mulai menggigil.

“Butuh tambahan jaket?”

“Oh! Gee, Sam, kamu tidak harus melakukannya sepanjang waktu, kau tahu!” kataku. Kutebak samaranku tidaklah cukup baik.

Dia memakaikan jaketnya di pundakku dan aku mengalihkan pandangan untuk menjaganya tidak melihat pipiku yang memerah.

“Aku tidak butuh ini. Plus, tidak kah kamu merasa kedinginan?”

“Tidak, ini hanya hujan gerimis dan kamu menggigil kedinginan. Aku baik-baik saja.”

Rambutnya basah dan menempel pada wajahnya dan mata kanannya tertutupi seluruhnya. Kami telah berada di depan rumahku.

“Um, ini jaketmu. Thanks, Uh bye,” gumamku, “Cuacanya dingin”

Tiba-tiba lengannya menyelimutiku dalam pelukan erat.

“Lebih hangat sekarang?” tanyanya. Aku dapat melihatnya menyeringai. Mata birunya berkedip.

“Ahh! Apa yang kamu lakukan!?” aku berdecit, “Apa yang sedang kamu pikirkan!?”

Cukup jelas, dia tertawa menyeringai dan aku ingin menonjok wajahnya.

“Sampai jumpa besok, Reyna.”

Dia berjalan releks seakan-akan tak ada apapun yang terjadi. Sementara itu aku berlari ke dalam rumah dan membanting pintu. Berhasil dengan sukses. Ada sebuah notes di lantai memberi tahu bahwa mom pergi kesuatu tempat dan akan kembali segera. Aku hampir tidak memperhatikanya dan mulai bersikap panik lagi. Gila. Cowok itu benar-benar tidak normal.

Tapi ada sesuatu yang lain melebihi kemarahan dan rasa malu yang kurasakan. Dan perasaan itu melontarkanku seluruhnya. Rasanya.. tidak buruk dan itu tidak bagus.

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Free Samples