Kamis, 01 September 2011

Sierra's Story (Kumpulan Cerpen, Cerbung dan Cerita Terjemahan)

Sam Roder, I think I love you... (Chapter 1)

by Sierra's Story (Kumpulan Cerpen, Cerbung dan Cerita Terjemahan) on Saturday, August 20, 2011 at 12:58pm

Story by Ohanashio from Storywrite

Translated by Sierra

Aku duduk di kursiku melihat orang-orang ngobrol dengan teman mereka. Aku pun akan melakukan hal yang sama jika aku punya teman disini. Suara bel memecah kesunyian, dan para murid mulai memenuhi kelas mereka masing-masing. Dengan hati-hati aku memasuki kelas 2B menunggu guru pelajaran jam pertama datang.

Guru sejarahku seorang pria yang terlihat agak aneh dengan rambut pirang keputihan. Dia memakai dasi berbentuk tuts piano dan memiliki kumis lebat. Dengan segera dia mulai membagikan kertas yang bertuliskan “SELAMAT DATANG DI KELAS SEJARAH” dalam huruf tebal. Disitu terdapat semua peraturan kelas seperti biasa dan peralatan apa saja yang perlu kita bawa.

“Oh ya! Ngomong-ngomong nama saya Mr. Ferry!”

Sisa waktu selanjutnya berlalu dengan tidak begitu jelas. Aku hanya menyadari kalau kelas sudah selesai ketika bel berbunyi. Dengan segera aku mengemasi barang-barangku dan meninggalkan ruangan yang sudah kosong kecuali oleh guru. Aku memiliki waktu sepuluh menit untuk istirahat jadi aku melihat-liat sambil mencari tempat untuk duduk. Kemudian aku melihatnya. Dia bersandar pada dinding, jauh dari orang-orang. Sangat jauh sehingga aku hampir tidak bisa melihat sosoknya dengan jelas. Penasaran, aku berjalan mendekat dan memastikan agar tidak terlihat. Aku terkejut ketika melihat apa yang sedang dia lakukan. Ada sebuah pisau ditangannya dan dia terlihat ragu-ragu apakah ia akan menyayatkan pisau itu pada tangannya atau tidak.

“Apa yang sedang kamu lakukan?” aku keceplosan bicara sebelum aku dapat menahannya.

Dia menatapku dengan mata birunya yang berpiercing dan pandangan mata dingin yang membuatku terkesiap.

“Apa yang kamu lakukan disini?” tanyanya, matanya berkobar.

“Jangan menyayat tanganmu. Itu pasti akan sakit.” Aku menjawab dengan bodoh.

“Pergi!”

Sebenarnya aku ingin sekali pergi tapi aku tidak dapat beranjak. Aku menjangkau dirinya dengan tanganku tanpa sebab namun kemudian membatalkannya dengan cepat, merasa seperti orang bodoh.

“Tidakkah kamu mendengarku? Pergi, idiot!” katanya geram.

“Kumohon jangan lakukan itu.” Kataku, sedikit isakan tangis mulai tiba-tiba keluar tanpa sebab.

“Kenapa kamu harus perduli dengan apa yang terjadi padaku? Kamu bahkan tidak mengenalku!”

Hal itu membuatku marah dan aku balik berteriak,

“Kamu pikir aku bodoh sehingga aku mau begitu saja membiarkan seseorang menyayat dirinya sendiri!? Tak seorang pun ingin melihat kamu berdarah! Terutama aku, jadi singkirkan pisau mengerikan itu dari tanganmu!”

Dan sebelum aku dapat berpikir apa yang barusan aku lakukan, berteriak pada orang asing, aku pun menamparnya. Terlambat sedetik, aku menyadari apa yang baru saja telah aku lakukan.

“Maaf,” Aku berdecit dan lari menuju kelasku selanjutnya, tanpa menghiraukan tatapannya.

Selama pelajaran Bahasa Inggris, semua yang dapat kupikirkan hanya tentangnya. Apa yang telah aku lakukan? Aku mendamprat seorang cowok yang aku bahkan tidak kenal kemudian menamparnya. Selama pelajaran jam ketiga dan keempat berlangsung, dia menghantui pikiranku. Hal itu cukup membuatku gila! Aku memutuskan untuk melupakannya salama makan siang, yang sepertinya mudah, menyadari fakta kalau dia ke-emo-an. Hatiku berdebar saat aku berdiri menunggu diantrian. Aku harus extra berhati-hati agar tidak menumpahkan makan siangku, tanganku bergetar seperti orang marah. Kemudian aku duduk dibawah pohon yang terletak dilokasi yang sepi. Akhirnya, damai juga!

“Kamu suka mentega kacang?”

“Agh!” Dia disini, Bagaimana caranya dia melakukan itu? Aku harusnya tau kalau dia datang.

“Kamu suka mentega kacang?” dia mengulang perkataannya.

“Yeah, lumayan,” balasku, berusaha membuat suaraku sedatar mungkin.

“Apa kau Emo?”

Dasar bodoh. Aku harus belajar berpikir sebelum bicara. Tapi dia malah tertawa. Atau mungkin dia sudah gila, pikirku dalam hati.

“Kamu pikir begitu ya?” tanyanya.

“Umm..”

Hal itu membuat dia tertawa lagi dan berkata,

“Well, kukira memegang pisau dan menaruhnya dipergelangan tangan membuatku terlihat seperti emo hah? Tapi sebenarnya aku bukan.”

“Siapa namamu?” tanyanya.

“Reyna Starr,” jawabku secara reflek.

“Benarkah?” katanya sambil tertawa. “Aneh sakali namamu!”

“Lalu namamu siapa?” tanyaku membela diri.

“Sam Roder.”

Sam mempunyai rambut hitam lurus, mengenakan pakaian serba gelap dan memiliki aura “bad boy” terpancar disekitarnya. Rambutnya menutupi hampir sebagian mata kanannya. Aku menyadari barusan aku menatapnya dan menundukkan wajahku untuk menutupi mukaku yang memerah.

Bell berakhirnya istirahat menyelamatkanku dari rasa canggung berkepanjangan dengan bunyinya yang nyaring. Aku berdiri untuk membuang bungkus makanan tapi dia mengambilnya terlebih dahulu dan melakukannya untukku.

“Sampai jumpa,” kataya, menjejalkan tangannya di kantong dan pergi menjauh.

Dalam kebungungan aku berjalan menuju kelasku selanjutnya. Jam pelajaran kelima yaitu olahraga. Aku bukanlah tipe orang yang sangat atletik. Ruangan loker berbau deodorant, baunya sangat menyengat sehingga membuatku hampir muntah. Pada waktu registrasi, mereka memberikan nomer loker kami beserta kuncinya. Punyaku loker nomer 108-A, barisan paling atas. Aku membukannya dan mencopot bajuku. Kemudian dengan segera menggantinya dengan seragam olahraga dan menjejalkan bajuku kedalam loker yang terlihat tidak terlalu bersih.

Diluar, udara dingin dan angin sepoi-sepoi berhembus perlahan, tipikal musim gugur. Guru olahragaku seorang wanita yang terlihat galak dengan sunglasses. Aku benci guru yang mengenakan sunglasses, terutama untuk pelajaran olahraga. Kamu tidak akan pernah tau apa atau siapa yang mereka lihat.

“Okay, guys! Saya Mrs. Berle dan jika saya memanggil nama kalian, kalian harus duduk sesuai nomer absen. Jelas?” Mrs. Barle memberi tahu.

Dia terus memanggil mana hingga sampai pada namaku. Ketika murid-murid yang lain mendengarnya, mereka memandang ke arahku seakan-akan aku makhluk dari planet asing. Nomer absenku 42 dari 60 murid!? Wow

“Hari ini kalian akan lari dua lap mengelilingi lapangan kemudian bermain permainan olahraga. Berdiri saja bukan olahraga. Jika saya melihat ada yang melakukan itu, saya akan mencarikan hal lain untuk kalian lakukan dan itu tidak akan menyenangkan. Go!”

Karena ada tiga grup olahraga dari keseluruhan kelas saat itu, hanya berbeda guru, segerombolan orang banyak mulai berlari. Aku berlari dengan langkah sedang, tidak terlalu cepat, tidak terlalu pelan. Aku sebenarnya sangat benci berlari. Jadi aku pergi ketempat persembunyianku dan tidak memikirkan apa yang kulakukan.

Sisa waktu pelajaran selanjutnya kuhabiskan dengan bermain “basketball.” Well, sebenarnya lebih mirip berdiri diam sambil berpura-pura barmain basketball. Membosankan!

Jam palajaran keenam adalah aljabar dengan Mrs. Chang dengan aksen Koreanya yang sangat kental. Aku hampir tidak dapat menceritakan apa yang dia katakan. Aku pun menyerah setelah dia menjelaskan tentang x dan y.

Akhirnya bel berbunyi! Aku bergegas keluar kelas bersama-sama dengan yang lain. Biasanya aku berjalan pulang ke rumah sendiri, bahkan semenjak masih SD. Tapi tentu saja dia pasti akan hadir disana. Aku berusaha menghindarinya dengan berjalan melewatinya dengan memalingkan muka, tapi dia menepuk pundakku. Aku berpaling kearahnya dan memaksakan senyum.

“Hey Sam. Kau mau apa?” tanyaku.

“Apa kau akan pulang kerumah?”

“Ya, dan aku bener-benar harus pergi sekarang untuk menyelesaikan pekerjaan rumahku.”

“Boleh aku pergi denganmu?”

Tanpa menjawab, aku berjalan agak terburu. Tapi dia mengikutiku. Jaraknya dengaku membuatku tidak nyaman.

“Apa maumu?” tanyaku, kali ini suaraku agak mengeras.

“Aku tidak tahu…”

Wajahnya tampak muram dan berhasil membuatku sedikit bersimpati. Aku ingin tahu kenapa wajahnya terlihat sedih.

“Aku seorang emo.. jika menyayat dirisendiri berarti seperti itu. Tapi aku tidak melakukannya karna aku menyukainya atau apapun. Itu hanya terjadi begitu saja,” dia menjelaskan dengan tiba-tiba.

“Kamu tidak harus membiarkan itu terjadi. Kamu dapat menghentikannya. Kataku, menyentuh pundaknya.

“Aku tidak bisa. Aku hanya... tidak bisa!” katanya, terlihat seperti hampir menangis.

Kami berdua berdiri didepan rumahku dan aku hanya menatapnya.

“Thanks Rayna,” katanya.

Tiba-tiba dia mencondongkan tubuh kedepan dan mencium keningku. Setelah itu dia pergi menjauh.


===========================================

HIGH SCHOOL DISASTER (CHAPTER 3)

Story by Sierra

Beberapa orang cewek ok, mungkin lebih tepatnya segerombolan banyak cewek nampak mengerumuni sudut kantin sekolah sambil membuat suara gaduh seperti suara teriakan histeris atau apalah yang memekakkan telinga orang sekantin dan jalas membuat selera makan gue berkurang karna gue tahu apa yang sedang meraka lakukan disana. Mengerubungi Rheam. Yiaakks

Cowok berparas indo-bule dengan segala kelebihannya itu memang mampu merebut hati gadis siapa saja di sekolah ini. Tapi tak kusangka banyak juga gadis bodoh yang tertipu tampang malaikat Rheam. Gimana ya rasanya membuka topeng Rheam dihadapan semua orang? Namun gue tahu gue harus bersabar.

Terlihat dari sudut mata gue seorang cewek yang nampak mencolok. Gimana nggak mencolok coba, cewek bertampang indo dengan rambut dicat pirang, mengenakan rok SMA ketat dua puluh senti diatas lutut, dan baju seragam yang pastinya cowok-cowok dapat langsung berdecak kagum melihat warna pink menerawang dari balik kemeja putih yang ia kenakan. Cewek itu bernama Cindy. Disampingnya, tepat disebelah kanan dan kiri Cindy, berdiri dua cewek lain yang tak pernah lepas selalu terlihat bersama yaitu Vivi dan Tania. Mereka adalah cikal bakal pendiri fans club pecinta Rheam yang mereka namakan Rheam lover. Sekarang mereka sedang asik ngobrol dengan Rheam diikuti beberapa cewek lain yang juga anggota fans club tersebut.

Ada-ada saja cewek disekolah ini. Kayaknya di dunia ini tidak ada hal penting lain yang dapat dikerjakan hingga muncul ide gila dengan membentuk fans club Rheam segala. Emang sebegitu hebatnyakah Rheam dimata cewek-cewek di sekolah? Tanpa sadar gue ngedumel dalam hati. Bakso dalam mangkuk gue yang nggak berdosa sudah menjadi korban pencabikan secara sadis dari garpu yang sedari tadi gue pegang.

Hari ini adalah bad day buat gue. Tunggu, sejak kapan sih hari gue nggak bad day semenjak gue kanal Rheam ‘yang sesungguhnya’. Ok, tiap hari gue ngerasa bad day tapi hari ini jauh lebih parah karena Marin dan Luna nggak masuk sekolah. Alasannya simpel saja, Marin sakit flu cukup parah dan Luca yang datang menjenguknya hari minggu kemarin ikutan ketularan sehingga jadilah hari ini mereka kompakan nggak masuk sekolah. Untungnya daya tahan tubuh gue cukup kuat jadi waktu ngejenguk nggak ikut ketularan. Kasihan juga ya mereka dan kasihan juga diri gue sendiri karena sekarang gue lagi kesepian nggak ada teman untuk diajak ngobrol. Biasanya kalau ada Marin dan Luca kami selalu saja ada topik menarik untuk diobrolin. Tapi sekarang mereka lagi nggak ada disamping gue. Sekolah tampak membosankan. Apalagi ditambah pemandangan menyebalkan di sudut kantin yang bikin gue semakin muak berada di sekolah ini.

Gue berencana menghabiskan sisa es teh dari gelas kemudian segera pergi dari kantin saat tiba-tiba seseorang menghampiri meja gue. Seorang cowok yang mengenakan baju seragam baru dan memegang mangkuk berisi soto dan segelas es jeruk ditangannya. Gue terpana beberapa detik sebelum akhirnya menyadari tingkah bodoh gue dan berharap dia tidak menyadarinya.

“Sorry, meja yang lain penuh. Boleh duduk disini?”

“Eh, yah. Silakan.”

Kemudian cowok itu meletakkan mangkuk dan gelasnya dimeja dan duduk dihadapan gue. Tanpa berucap kata sepatahpun lagi ia mulai menyantap makanannya. Niat gue semula untuk meninggalkan kantin batal karna sekarang gue sedang terpana memandang wajah cowok cakep yang hanya berjarak satu meter dari hadapan gue.

Abis mimpi apa gue semalam, Lloyd sekarang ada persis didepan mata gue. Rasanya aneh. Tapi seneng juga ngelihat cowok ganteng dari jarak dekat seperti ini.

“Ada apa?” Tiba-tiba ia mendongakkan wajah ke gue, ngerasa kalo sedari tadi diliatin.

“Eh, nggak apa-apa kok.”

Srottt srootttt. Bunyi dari gelas es teh yang gue sedot-sedot walah tau sudah habis isinya. Lloyd memandang gue heran.

“Nih, minun aja punyaku.” Katanya menyodorkan gelasnya yang masih penuh ke gue.

“Eh nggak perlu, nggak perlu. Entar lo gimana?”

“Aku bisa pesan lagi.” Beberapa saat kemudian Lloyd sudah memanggil penjaga kantin datang ke meja dan memesan segelas minuman baru.

Ok, gue ralat, hari ini nggak se bad day yang gue kira. Ada Lloyd yang sekarang nemenin waktu istirahat gue dan duduk ditempat biasa saat Marin dan Luca makan bersama gue di kantin walaupun sekarang kami saling diam karna tak ada bahan percakapan lain untuk dibicarakan.

Gue menyedot es jeruk dari gelas yang Lloyd sodorkan tadi sambil bermain-main dengan sedotan dimulut. Mata gue nggak bisa lepas dari Lloyd sedikitpun.

Merasa bosan karna tak ada obrolan gue memulai lagi percakapan.

“Jadi, lo masih ingat nama gue kan?”

Lloyd berhenti dari aktifitas mengisi perutnya dan berpikir sejenak.

“Luna Kataluna”

“Wow, nggak sangka ternyata lo inget juga nama gue.” Senyum lebar menghiasi muka gue saat mendengar Lloyd menyebut nama lengkap gue dengan benar.

“Yeah, karna nama kamu terdengar unik.”

Sebentar, itu pujian atau malah ledekan ya? Ok, nggak masalah. Yang penting dia ingat nama gue. Gue senyum-senyum sendiri dalam hati.

“Lloyd , kalau boleh tahu apa alasan lo pindah ke Indo?”

Lloyd berhenti sejenak kembali, seperti memikirkan kata-kata yang hendak diucapkannya.

“Aku ingin berjumpa kambali dengan seseorang.” Katanya dengan tampang datar seperti biasa.

Seseorang? Mantan pacarnya atau keluarganya kah? Atau mungkin gadis yang ia suka? Gue memikirkan segala kemungkinan yang ada. Seolah penasaran dengan siapa orang yang ingin ditemui Lloyd disini.

“Siapa?” tanya gue hati-hati, namun Lyoid tak memberikan jawaban.

Sial. Harusnya gue nggak usah tanya. Dengan muka manyun gue mengaduk-aduk es jeruk dengan sedotan. Saat mengalihkan pandangan tak sengaja sudut mata gue bertemu dengan mata Rheam yang memandang tajam ke arah gue. Gila, ngapain tuh cowok pake melototin gue segala. Ternyata gue emang ngak pernah luput dari perhatian dia. Segera saja gue alihin lagi pandangan kearah lain pura-pura tidak menggubris adanya Rheam di kantin.

“Rheam, boleh minta foto bareng nggak untuk dipajang di album fans club kami?” teriak seorang cewek cukup nyaring untuk didengar sampai ketelinga gue.

“Tentu saja boleh, ambil foto sebanyak yang kalian suka.” Jawab Rheam ramah. Hueeekk.. gue harap ada tempat sampah didekat sini karna perut gue tiba-tiba mual.

Para cewek asik mengerubungi Rheam dan berpose sok imut kemudian mengambil gambar dengan kamera flash light. Sementara cowok-cowok yang berada di sekitar kantin berdengus kesal memandang cewek-cewek yang keganjenan dan merasa dirinya kalah saingan. Kasihan

“Eh, udah selesai makannya?” Gue beralih pada Lloyd yang hendak berberes meninggalkan meja.

“Iya.”

“Abis ini mau kemana?” tanya gue.

“Pulang.”

“Pulang? Bukannya belum selesai pelajaran?”

“Nggak masalah.” Tanpa menunggu lebih lama lagi Lloyd berjalan meninggalkan kantin diriingin gue yang berusaha mengikutinya dari belakang.

“Tunggu! Lo nggak bermaksud bolos kan?” tanya gue sebelum kami meninggalkan gerbang kantin. Lloyd berhenti dan membalikkan badan.

“Iya, mau ikut?”

Tanpa menunggu jawaban dari gue ia melangkahkan kembali kaki jenjangnya menyusuri lorong sekolah. Dari belakang tanpa gue sadari Rheam memandang lekat kearah kami.

-“-“-

“Sebenarnya apa sih yang lo pikirin, bukannya lo baru masuk sekolah dua hari ini dan lo udah berniat untuk bolos?” tanya gue sambil berlari-lari kecil disamping Lloyd berusaha menyamakan langkah dengannya. Gila, susah juga ngimbangin langkah kaki Lloyd yang panjang.

Nggak disangka gue memutuskan untuk mengikuti Lloyd bolos sekolah. Gue harap nggak bakal di skors gara-gara bolos pelajaran matematika di jam terakhir. Tau sendiri guru matematika gue kan paling killer di sekolah. Kalau gue sampai di skors Lloyd bakal nemenin gue juga pastinya.

“Aku harus melakukan sesuatu hari ini, nggak bisa menunggu sampai pelajaran selesai. Nanti nggak akan selesai hingga petang.”

“Ngelakuin apa? Gimana ntar kalo dimarahin guru? Lagian ntar kita bisa ketinggalan pelajaran.”

“Semua pelajaran yang diajarkan disini sudah pernah kupelajari dulu.”

“Apa? Emang beneran lo udah pelajarin semuanya?” tanya gue setengah kaget setengah nggak percaya dengan kata-kata Lyoid. Nggak nyangka kami udah berjalan cukup jauh hingga kesuatu tempat yang nampak tak asing bagi gue. Sekitar seratus meter didepan sana terlihat sebuah apartemen tinggi menjulang dan megah. Gue mengikuti Lloyd berjalan memasuki apartemen tersebut dan kini kami berada didalan lift menuju ke lantai 20 dimana tempat tinggal Lloyd berada. Lumayan jauh juga untuk gedung bertingkat 50 lantai. Apartemen ini berada di pusat kota dekat dengan segala fasilitas penting dan tentunya sekolah kami juga. Ugh, ternyata dia anak orang kaya.

Lift pun terbuka tepat di didepan sebuah pintu yang bertuliskan Ashton Lloyd pada sebuah papan ukiran tembaga berkilau.

Lloyd memasukkan kunci kelubang dan membuka pintu tersebut diiringi wajah terkagum gue melihat isi apartemennya yang serba mewah. Ok, memang bukan baru pertama kali ini gue melihat rumah mewah. Saat pertama menginjakkan kaki di rumah keluarga Collins pun demikian. Gue sempat terkagum-kagum akan kemewahan rumah tersebut. Begitu juga saat pertama kali masuk SMA Permata Bangsa. Tapi tetep aja gue ngerasa janggal tiap kali memasuki tempat mewah seperti ini.

Lloyd mempersilakan gue masuk dan dia berjalan duluan ke dalam. Namun tiba-tiba gue menjadi ragu untuk mengikutinya. Maksud gue, hey, gue baru kenal Lloyd tiga hari dan dia sudah berani mengajak gue kerumahnya. Ok, emang sih tadi gue sendiri yang pengen ikut. Tapi apa sebaiknya gue ikutin dia masuk atau gue urungkan niat sekarang sebelum semuanya terlambat? Bukan bermaksud berpikir negatif sih. Tapi untuk jaga-jaga saja.

Setelah beberapa detik berpikir, waktu yang cukup lama disaat nervous akhirnya gue mengambil satu langkah kaki. Pada akhirnya memang rasa penasaranlah yang menang. Gue berjalan perlahan memasuki apartemen Lloyd dan melihat banyak barang-barang dalam box yang belum selesai ditata.

“Belum sempat ku bereskan semua karna terlalu sibuk dengan administrasi sekolah.” Kata Lloyd seakan mengerti apa yang gue pikirkan.

“Kenapa nggak manggil orang aja untuk ngerjain semua? Gue yakin lo pasti mampu bayar.” Kata gue sambil mengedarkan pandangan keseluruh ruangan. Apartemennya luas dengan beberapa ruangan yang cukup ditinggali satu keluarga dan prabotan mewah disemua sudut apartemen. Dinding ruang tamu di cat warna pastel dan marun dan terdapat sebuah gorden ungu dipojok ruangan.

“Untuk prabotan yang besar, iya. Selebihnya ingin kukerjakan sendiri karna tak ingin orang lain merusaknya.” Jawab Lloyd sembari membuka gorden ungu yang tadi gue lihat. Terlihat pemandangan kota dari atas.

Lalu Lloyd membuka seluruh pintu ruangan yang ada kemudian berjalan kesudut ruang tamu tempat kami sekarang berdiri, mencari-cari sesuatu dalam salah satu box yang tertumpuk. Gue masih tetap mengedarkan pandangan keseluruh ruangan. Barang-barang yang ada terlihat manis dan elegan. Vas bunga dengan bermacam bunga warna-warni baik yang imitasi ataupun bunga segar terlihat menghiasi seluruh ruangan di Apartemen. Pandangan gue beralih pada sebuah sofa berwarna merah muda yang terlihat nyaman. Gue menghampiri sofa tersebut dan duduk sambil memeluk batal warna-warni yang ada di sofa. Apartemennya terlihat penuh warna dan terkesan girly.

“Dulu apartemen ini pernah ditinggali oleh sepupu perempuanku sebelum aku pindah ke sini.” Lagi-lagi Lloyd membaca pikiran gue.

“Apa lo tinggal sendirian disini atau bareng orang lain? Orang tua lo mungkin?” Tanya gue ke Lloyd tapi seketika muka gue berubah pucat pasi. KENAPA DIA HARUS BUKA BAJU DI DEPAN GUE????!!!!

Mata gue melotot karna kaget. Lloyd mengganti baju seragamnya dengan kaos yang baru ia temukan di box. Ya, tepat dihadapan gue! Dapat dengan jelas gue lihat punggungnya yang mulus dan putih bersih. Otot-otot punggung dan lengannya terlihat atletis dengan perut ramping dan postur tinggi besar ala bule-nya. Aduh apa nggak ada tempat lain apa kenapa musti didepan gue?? Dasar bule emang suka seenaknya sendiri. Untung dia nggak ganti celana juga di depan gue. Bisa kena serangan jantung mendadak kalo sampai beneran.

“Aku tinggal sendirian. Semuanya kuurus sendiri.” Jawab Lloyd menghampiri sofa tempat gue berada. LAGI-LAGI, KENAPA WAJAHNYA SEMAKIN MENDEKAT??? Gue menahan nafas beberapa detik saat wajah Lloyd tepat dihadapan gue dan pastinya nggak bisa mengelakkan rona merah di pipi. Beberapa saat ia memundurkan kembali tubuhnya dengan membawa dua pasang sarung tangan yang baru dipungutnya dari sebuah box dibalik sofa. OMG, gue bakal beneran kena serangan jantung.

“Pakai sarung tangan ini untuk memindahkan barang-barang keramik disana, nih!” ia menyodorkan sepasang sarung tangan ke gue dan memakai sepasang lagi untuknya sendiri. Dengan cekatan Lloyd memindahkan barang-barang pindahan ketempat semestinya. Gue yang masih sedikit shock dan bingung mengikutinya memindahkan barang-barang.

Apaan nih? Bolos sekolah untuk kerja rodi?

“Bukannya kata lo tadi lo nggak mau dibantu orang lain karna takut orang lain ngerusak barang-barang lo?”

“Iya, tapi kurasa kamu berbeda.”

Ugh, pipi gue memerah lagi mendengar kata-kata Lloyd . Pura-pura tak merespon gue terusin lagi acara memindahkan barang.

Semua barang-barang keramik sudah tertata semua di almari hias. Kini giliran barang-barang di box satunya. Gue melihat box satunya di dekat gue yang masih disegel tak seperti box-box yang lain yang sudah terbuka. Lloyd masih menata barang-barang di ruang sebelah. Karna penasaran gue membuka box tersebut dan menemukan beberapa barang didalamnya. Sebuah boneka bebek berwarna kuning dan putih dengan perut besar menyembul pertama kali dari dalam box. Gue memungutnya dan mengamatinya dengan heran. Didalam box masih ada beberapa barang lagi. Seperti beberapa pigura yang tertelungkup dan foto album serta beberapa CD dalam CD box.

‘Aneh sekali, kenapa dia bawa-bawa boneka segala?’ pikir gue dalam hati.

‘Mungkin boneka pemberian dari seseorang atau boneka itu akan diberikan untuk orang lain?’ gue masih bertanya-tanya. Boneka itu terlihat usang entah mengapa.

Gue hendak memungut pigura dalam box ketika tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah tepukan pundak dari belakang. Kontan gue kaget dan langsung menolehkan tubuh kebelakang. Jarak muka gue hanya satu senti dari wajah Lyoid. Gue terdiam beberapa saat karena shock. Wajah tampan Lyoid dapat dengan jelas gue lihat bahkan hidung mancungnya sedikit lagi hampir menyentuh hidung gue. Nafas gue lagi-lagi tertahan beberapa saat, nggak tau apa yang harus gue lakukan saat ini. Rona merah kembali muncul di pipi.

“Sorry, gue cuma mau bantu pindahin barang-barang di box ini.” Kata gue kikuk.

Wajah Lyoid nampak berbeda dari ekspresi biasanya. Ia memandang pada boneka bebek yang gue pegang. Beberapa detik tampak sunyi.

“Ini boneka elo?”

“Iya” jawab Lyod singkat sambil mengambil boneka itu dari tangan gue. “Barang-barang di box ini biar aku saja yang urus. Kamu bisa bantu pindahkan barang-barang di box lain.” Ucap Lyoid dengan ekspesi datar. Kini wajahnya sudah tidak lagi persis didepan gue. Akhirnya bisa menghembuskan nafas lega juga. Huufff, emang deh semakin lama bisa kena serangan jantung beneran kalo lama-lama berada disini.

Lyoid mengangkat box berisi barang-barang yang baru gue temukan ke sebuah ruangan. Sepertinya itu kamarnya. Gue hanya bisa mengamatinya berlalu begitu saja. Dengan wajah tanda tanya akhirnya gue putuskan untuk memindahkan barang-barang di box yang lain.

Jam menunjukkan pukul 9 petang ketika sampai di rumah. Untung ortu nggak marah saat gue pulang. Alesannya sih ngerjain tugas kelompok di rumah teman. Aduh dosa ya gue bo’ong sama ortu. Tapi kalo ngomong yang sejujurnya bisa kena marah abis-abisan ntar. Masa gue mau bilang bolos pelajaran sekolah karena ikut-ikutan temen cowok yang baru gue kenal tiga hari lalu datang kerumahnya dan disuruh kerja rodi? Nggak lucu banget kan?

Rheam berdiri di pojok ruangan mengamati gue dengan wajah curiga. Gue pura-pura nggak peduliin keberadaan Rheam saat akan kembali ke kamar. Sial, moga aja Rheam nggak tau tentang kejadian tadi siang. Sampai dikamar gue langsung ambruk di kasur dan tertidur pulas seketika. Benar-benar hari yang melelahkan.

====================

Sam Roder, I think I love you... (Chapter 2)

Story by Ohanashio from Storywrite

Translated by Sierra

Hari berikutnya ialah hari Jum’at. Aku tak tahu kenapa, tapi sekolah-sekolah disekitar sini tak pernah mulai pada hari Senin. Aku membungkus badanku dengan pakaianku yang paling nyaman, mencomot beberapa kue muffin dan berlari menuju udara musim gugur yang sejuk. Aku melihat banyak teman sekelasku berjalan di jalan yang sama denganku. Aku menghembuskan nafas lega ketika aku tidak melihatnya dimanapun.

Rumahku hanya berjarak lima menit dari sekolah jadi aku sudah sampai disana sebelum aku menyadarinya. Dan begitupun dengan dia. Dia sedang menanti di depan pintu masuk sekolah. Aku punya dorongan kuat untuk berlari pulang dan berpura-pura sedang sekit.

“Hey, Reyna.”

Aku mencoba berjalan melewatinya tapi dia menghentikanku.

“Apa yang kamu mau dariku , Sam?” tanyaku merasa terganggu. Karna suatu alasan, namanya menggelitik lidahku. Aneh!

“Dapatkah aku setidaknya mendapat salam? Persetan, apa aku melakukan kesalahan?” balas Sam dengan marah.

Kamu mencoba menyayat dirimu didepanku, aku ingin balas berkata seperti itu, tapi yang keluar malah,

“Jaga ucapanmu!”

Dan dia pun menertawakanku. Balasan yang bagus, Reyna. Wajahku berubah sangat merah dan aku berusahauntuk kabur. Lagi-lagi dia menertawakanku, pandangan matanya masih menunjukkan kalau dia sedang tertawa.

“Kamu nampak seperti gadis baik-baik.”

“Lalu kenapa? Jika kamu tidak suka mungkin seharusnya kamu tidak berbicara denganku!” kataku sambil berpaling sekali lagi walau aku tahu itu percuma.

“Aku tak bilang kalau aku tidak suka.”

Bel pun berbunyi. Yes! Aku tidak tahu bagaimana membalas komentarnya, jadi aku gunakan kesempatan ini untuk lari. Sementara ini aku aman selama pelajaran sejarah.

“Hey guys! Siap untuk hari kedua kalian di sekolah?” tanya Mr. Ferry dengan bersemangat.

“Have a nice weekend!”

Woah. Palajaran sejarah sudah selesai? Untunglah aku sudah mengatur rencana untuk menghindarinya dengan menunggu selama jam pergantian pelajaran di kelasku selanjutnya. Tapi ditiga kelas selanjutnya kulewati dengan hanya melamun tanpa henti. Dengan cepat-cepat aku mencatat PR-ku dan berlari keluar kelas. Hari ini aku membawa makan siang dan memutuskan untuk pergi ke tempat yang sama seperti kemarin.

Kontras dengan pagi ini, siang ini sangat panas. Aku mengikatkan jaketku di pinggang kemudian duduk. Aku membuat sendiri makan siangku dan itu biasanya terdiri dari sandwich, jus, dan makanan ringan. Hari ini aku membawa sekantong kecil cheetos, ham, dan cheese sandwich, dan juga Sunkist.

“Ketemu kau!”

“Oh astaga!”

Wajahnya berada satu inci dariku dan dia menepuk hidungku dengan ringan.

“Apa aku menakutimu?”

“Tidak,” kataku bohong.

Apa dia harus melakukan itu setiap waktu? Aku memang tipe orang yang selalu jatuh pada lelucon yang sama berkali-kali. Aku mengigit sandwichku dengan diam dan mengunyahnya perlahan.

“Apa kamu keberatan jika aku menyayat diriku disini?”

“Jangan!” aku berteriak.

“Aku hanya bercanda,” katanya sambil tertawa.

“Sebagai seorang emo, kamu terlalu… ceria,” komentarku.

Dia melihat kearahku, mata birunya membuatku membeku seketika.

“Jadi kamu masih berpikir aku ini emo, ya?”

Aku merenungkan penampilannya yang serba hitam dan tentang “kejadian” dari hari kemarin.

“Yeah, sepertinya. Kamu mencoba menyayat tanganmu, ingat?”

“Apa itu mengganggumu? Tanyanya.

Well, mungkin aku akan dihantui selama satu atau dua bulan dengan kekhawatiran kalau-kalau dia akan bunuh diri. Tapi, kenapa dia harus perduli kalau aku memperdulikan hal itu?

“Mungkin,” adalah jawabanku yang sangat cemerlang.

Dia nampak memikirkan tentang jawabanku. Apa yang perlu dipikirkan tentang hal itu?

“Apakah pernah terlintas dipikiranmu kalau aku tidak melakukan hal itu karna aku mau? Itu semacam… Aku harus melakukannya…”

“Kamu harus bunuh diri? Tidak, itu sama sekali tidak benar. Tidak mungkin, memangnya ada alasan bagimu untuk bunuh diri kecuali kamu telah membunuh orang lain? Ada orang-orang yang menyayangimu dan kamu akan membuat mereka terluka. Apa hal itu pernah terpikir olehmu?”

“Akankah kamu menjadi salah satunya?”

“Hah?”

“Apakah kamu akan merasa sakit jika aku bunuh diri?”

Sama sekali tidak terduga. Tepat saat bel berbunyi aku menjawab dengan bergurau,

“Yeah, mungkin. Tapi aku tidak mau melihatnya.

Aku menepuk hidungnya dan berjalan pergi sambil menggenggam erat tempat makanku, rasannya sakit. Aku mencoba tidak memikirkan apa yang barusan aku katakan dan aku lakukan serta perasaan tidak biasa yang menjalar di dadaku.

Aku merasa kurang enak badan selama pelajaran olahraga. Perutku rasanya seperti diaduk karna rasa cemas. Well, mungkin ini masuk akal karena pertanyaannya masih mengusik pikiranku. Apakah kamu akan merasa sakit jika aku bunuh diri? Apakah aku akan sakit?

Berpikir terlalu dalam tentang pertanyaan itu membuatku gila. Aku tidak bisa memikirkan tentang jawabannya sehingga itu hanya berakhir menjadi PR untukku yang bahkan tak pernah bisa kumengerti. PR selama akhir pekan!? Astaga, aku benci kelas yang satu ini.

Kali ini aku tidak terlalu terkejut mengetahui Sam sedang membuntutiku pulang ke rumah. Mengikutiku tanpa bicaradan hanya pura-pura bersenandung.

“Okay,” aku memecah kesunyian, “Kenapa kamu membuntutiku?”

Matanya nampak pura-pura tak berdosa ketika ia menjawab,

“Memangnya aku terlihat sedang membuntutimu?”

“Well, kamu berjalan disebelahku tanpa berkata apapun!”

“Itu yang namanya membuntuti?”

“Ugh!”

Secara dramatis aku memalingkan muka darinya dan mulai mempercepat langkah atau lebih tepatnya setengah berlari tapi kakinya yang panjang tak membiarkannya jauh lebih dari satu langkah dariku. Dan kemudian aku mulai berlari kencang. Syukurlah rumahku sudah dekat.

“Bye”

Dia menggenggam tanganku, erat.

“Kamu pikir kamu mau kemana?”

“Uhh, ke rumah.”

“Tidak, kamu tidak akan.”

Dia pun mulai menarikku menjauh dari rumah. No, no, NO. Rumahku! Aku mencoba berontak dari cengkramannya, tapi seperti yang kukatakan aku bukanlah tipe orang yang sangat atletik. Dia menyeretku sepanjang jalan menuju taman tua, didepan sebuah pohon besar. Ketika aku masih kecil aku pernah jatuh dari pohon itu dan sekarang aku takut akan ketinggian dan juga memanjat pohon.

Sam duduk bersandar pada pohon dan memandangku lekat.

“Duduk!”

“Aku bukan anjing.”

Dia merenggut tanganku sehingga aku duduk dengan wajah kesal.

Dia menyentuh pipiku yang dengan segera berubah merah seakan-akan tangannya adalah besi yang panas.

Kemudian dia mulai mendekatkan wajahnya kearahku sambil menutup mata. Astaga! Apa yang dia lakukan!? Aku harus pergi! Aku berdiri dan berlari menjauh dan baru menengok kearahnya ketika sudah dalam jarak aman.

Sam duduk disana, tersenyum nakal sambil mengedipkan matanya yang terlihat misterius.

Kenapa? Apa yang salah dengan cowok itu?

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Free Samples