Kamis, 01 September 2011

Sam Roder, I think I love you... (Chapter 6)

Sam Roder, I think I love you... (Chapter 6)

Story by Ohanashio from Storywrite

Translated by Sierra

Seminggu berlalu begitu saja nampak tak begitu jelas. Secara teknis aku sudah menghindari kontak apapun dengan Sam, sebagian besar dengan berlari ke toilet. Orang lain mungkin berpikir aku punya penyakit konstipasi atau hal semacamnya, tapi aku yakin dengan pasti Sam tahu apa yang sedang kulalukan.

Tapi hari ini adalah hari Jum’at, hari terakhir sekolah minggu ini dan aku sangat gembira. Langit berwarna cerah agak menyeramkan karena cuaca seakan menggambarkan emosiku minggu ini. Aku bangun agak telat jadi aku menjarah sebuah kue muffin dan meninggalkan rumah untuk ke sekolah.

“Apa gerangan yang selalu membuatmu menghindariku minggu ini?”

Sial.

“Well, aku belum selesai menghindarimu jadi diamlah dan pergi saja, Sam.” Kataku tanpa berbalik.

Dia menggenggam pundakku tapi aku menepis tangannya. Sentuhannya menyalurkan getaran ke tulang belakangku. Memelukku sudah cukup buruk, memelukku dihadapan orang banyak akan membunuhku. Dia membiarkan tangannya terjatuh tapi masih berjalan tepat di sampingku. Kenapa langit tidak menyambarkan petir segera? Jaraknya denganku mengusikku.

“Kenapa kau marah?” Sebenarnya apa salahku?”

Aku memang kekanakan. Umpatannya barusan membuatku ingin terkesiap yang sebenarnya sudah kualami secara mental.

“Jangan menggunakan kata-kata kotor di sekitarku, dan aku marah padamu karena kamu memelukku. Itulah kesalahanmu.”

“Karena aku memelukmu? Apa? Apa aku pemeluk yang payah atau bagaimana? Apa sebegitu buruknya?”

“Kau bukan, umm… pemeluk yang payah… tapi kau… um… aku.. tertangkap basah…” aku tergagap.

Semua menjadi serba salah.

“Jadi bila aku memberitahumu sebelumnya kau akan menyukainya?”

Kali ini aku seperti berputar-putar, siap untuk menampar wajah menyeringainya, tapi wajahnya kini memerah.

“Mungkin,” kataku, berbalik kembali.

Bel belum juga berbunyi, jadi para siswa sedang menunggu pintu gerbang terbuka. Sial. Sekarang kemana lagi aku harus menghindar?

“Kalau begitu bolehkan aku memelukmu sekarang?” dia bertanya, senyum nakalnya kembali lagi.

“Tidak!” Jawabku cepat.

Bel berbunyi dan orang-orang berjalan masuk ke sekolah. Aku hendak pergi tapi Sam mencegahku. Di luar sekolah sudah sepi sekarang.

“Sekarang belehkah aku memelukmu?”

“Bukankah aku baru saja menjawab pertanyaan itu. Dan bila kamu mengulanginya—“

Dia memotong perkataanku, memelukku dengan erat. Terkejut, aku terpaku sejenak, tapi dengan segera mengeliat dari lengannya. Dia melepaskanku, tersenyum dengan tulus, bukan senyum nakal seperti biasa. Tanpa berkata apa-apa lagi dia berlari dariku dan masuk ke gedung sekolah.

Kejadian ini berputar-putar di otakku sepanjang hari. Aku menghabiskan makan siangku di kamar kecil, membaca buku di salah satu stall. Aku tidak perduli ketika cewek-cewek lain kerkikih saat mereka melewatiku, membisikkan lelucon-lelucon jorok.

Sepulang sekolah aku berlari keluar dari sekolah dan berjalan cepat ke rumah.

“Ahh!”

Sam sedang menunggu di depan rumah. Bagaimana dia bisa secepat itu sempai disana? Aku berbalik. Mungkin aku harus menghabiskan malam di taman. Atau, kamu tahu, di suatu tempat yang JAUH dari Sam.

“Reyna!”

Suara Sam terdengar marah dan itu membuatku ketakutan. Aku berbalik untuk berhadapan dengan matanya yang berkobar dan berjalan kearahnya, mencoba untuk bersikap tenang.

“Kamu tidak menyukaiku sama sekali?” dia bertanya, suaranya melembut sekarang.

Sama sekali. Aku tak pernah ingat pernah memberitahunya kalau aku menyukainya.

“Kukuira aku tidak menyukaimu.”

“Kau membenciku, hah… “ katanya, jelas sekali tidak mendengar apa yang baru kukatakan.

“Aku tidak membencimu.”

Dia terlihat sedih, seakan jawabanku tidak cukup baik dan menarikku dalam sebuah pelukan lagi. Kali ini aku membalas pelukannya. Betapa jahatnya aku bila aku tidak melakukannya. Kami terdiam sejenak dalam sunyi dan aku merasa janggal dalam posisi seperti ini.

“Reyna, aku menyukaimu. Apa kau mau jadi pacarku?” dia bertanya, menarik tubuhnya dari ku. “Aku ingin ini terlihat lebih romantis tapi aku benar-banar tidak bisa menunggunya lebih lama lagi.”

Aku terkejut, terkejut karna pertanyaan tiba-tiba darinya. Tapi melebihi dari ketidakmauanku untuk berkata tidak atau kemauanku untuk berkata iya. Aku harus bilang,

“Tentu saja, Sam. Aku akan jadi pacarmu.”

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Free Samples