Kamis, 01 September 2011

HIGH SCHOOL DISASTER (CHAPTER 5)

HIGH SCHOOL DISASTER (CHAPTER 5)

by Sierra's Story (Kumpulan Cerpen, Cerbung dan Cerita Terjemahan) on Wednesday, August 24, 2011 at 10:34am

Story by Sierra

Hari ini gue bangun lebih pagi dari biasanya. Well, bukan karena gue kerajian tapi karena gedoran pintu dari Rheam yang membuat gue berakhir di dapur memasak sarapan untuk ‘sang pangeran’ dan tentu saja sarapan gue sendiri karena pelayan rumah tangga kami mendapat cuti selama seminggu. Cuti yang sudah direncanakan dalam rencana pembantaian dan penindasan hari pertama gue sebagai budak Rheam. Tentu aja cuti itu nggak akan berlaku kalau ortu masih di rumah, sayangnya mereka sedang asik dengan urusan bulan madu mereka dan berfikir gue pasti akan baik-baik saja ditinggal sendiri bersama Rheam yang selalu bersikap manis dihadapan ortu. Pasti mereka berfikir Rheam dapat menjaga ‘adik tirinya’ dengan baik karena dialah satu-satunya orang yang dapat mereka percayai. Tapi sebetulnya mereka salah besar!

Gue sedang menggoreng telur urak-arik saat Rheam berjalan melintasi dapur memastikan gue sedang mengerjakan tugas gue dengan baik sebagai ‘pelayan pengganti’ untuknya. Gue memasak telur dengan cepat, memanaskan susu dan menuangkan jus jeruk dalam botol ke gelas. Kemudian mengambil beberapa butir buah apel dari dalam kulkas. Semua gue lakukan dalam kecepatan super sonik karena gue juga harus siap-siap berangkat sekolah.

Aslinya gue pengen banget dengan sengaja tambahin lada yang banyak di telur urak-arik Rheam biar dia kepedesan atau masukin garam ke dalam susunya. Tapi gue nggak sempat untuk itu semua. Gue harus buru-buru supaya nggak terlambat ke sekolah. Lagian hari ini gue pengen berusaha sedikit bersikap manis ke Rheam agar dia nggak terlalu menindas gue sebagai budaknya.

Dan gue pun akhirnya sudah siap dengan semuanya. Setelah menghidangkan sarapan dan kembali ke kamar untuk mandi dan berganti seragam, gue turun ke ke bawah untuk menikmati sarapan gue juga. Ternyata Rheam masih ada di meja makan. Gue duduk di hadapannya dan berpura-pura tidak menggubrisnya, menikmati acara sarapan pagi yang janggal karena hanya ada kami berdua di meja makan.

“Telurnya lumayan, tapi kurang sedikit garam.” Katanya tiba-tiba, memecah kesunyian dimeja makan.

“Apa lagi yang kurang?” tanya gue dengan nada mengejek. Sebal karena mendapatkan komplain.

“Lo lupa matiin kompor waktu udah selesai masak. Apa lo nggak tau kecerobohan lo bisa buat rumah ini hangus nggak bersisa? Emang lo nggak pernah diajarin cara gunain dapur sebelumnya ya?”

Oh ternyata ia masih ada disini untuk ceramahin gue masalah ini.

“Kalau lo lihat, kan elo bisa matiin.”

“Kalau gue nggak ada?”

Kalau lo nggak ada gue bakalan merasa bersyukur banget. Tapi ucapan itu cuma tertahan di hati, nggak mau berdebat lebih panjang. Waktu pagi gue lebih berharga dari pada untuk meladeni perdebatan dengan Rheam. Gue harus berangkat sekolah sendiri seperti hari-hari biasanya.

“Muka lo kusut amat, Lun?” tanya Marin yang duduk manis di sebelah setelah gue menghempaskan badan dengan kasar ke bangku. Luca ikut mengekor dengan berdiri disamping Marin. Setelah membereskan dengan cepat peralatan makan sehabis sarapan, gue langsung melesat secepat kilat ke sekolah. Untung masih ada lima menit sebelum bel berbunyi.

“Sekarang gue resmi jadi budak Rheam satu semester,” kata gue kesal tapi dengan nada rendah.

“Jadi budak Rheam satu semester!!??”

“Tsuuttt!!!”

Jelas yang barusan tadi terdengar cukup keras walau Marin dan Luca berusaha untuk menahan ekspresi keterkejutannya. Siapa yang menyalahkan mereka untuk terkejut karna pada awalnya pun gue sangat terkejut mendengar Rheam mengatakan hal itu. Tapi hal ini nggak boleh sampai ketahuan siapapun kecuali hanya mereka. Untung temen-temen yang lain masih sibuk dengan urusan mereka sendiri, bergosip dengan membentuk kelompok di sudut-sudut kelas atau di dekat jendela. Para cowok asik sendiri dengan membuat kegaduhan di depan kelas.

Gue menunduk dengan turut pula menarik kepala Marin dan Luca hingga hampir menempel ke meja. “Kalian nggak akan bocorin rahasia gue kan?!!” bisik gue dengan nada sedikit mengintimidasi. Marin dan Luca mengangguk serempak dan meminta maaf.

Mata gue melirik ke seberang bangku dimana Lyoid persis duduk di sebelah. Sepertinya dia tidak memperhatikan karena sedang asik tenggelam dalam buku bacaannya. Untunglah.

“Entar deh gue ceritain di kantin.” Saat itu pula bel pelajaran berbunyi.

Empat jam pelajaran terasa sangat lama hingga bel istirahat pertama berbunyi. Kami bertiga duduk di kantin setelah memesan tiga mangkuk bakso dan es teh.

“Jadi gimana ceritanya?” tanya Marin penasaran. Setelah memastikan tak ada murid-murid lain yang memperhatikan, gue mulai bercerita kepada mereka. Dimulai dari rasa penasaran mencari orang yang mungkin ada di rumah hingga memasuki ruangan aneh tempat papa tiri menaruh koleksi barang-barang antiknya dan menemukan monster berjubah rumbai-rumbai sehingga tidak sengaja menjatuhkan lampu hias antik yang sangat berharga nilainya hingga menjadi kepingan-kepingan kaca. Dan Rheam yang datang tiba-tiba sehingga gue berakhir menjadi budaknya selama satu semester.

“Kaya’ nggak kurang apes aja nasib lo, Lun,” kata Luca yang terdengar sarkastis tapi sebenarnya dia hanya bermaksud simpati. Jadi gue bisa maklum.

“Emang udah nasib gue kali.”

Pesanan pun datang dan gue segera menyedot es teh kuat-kuat untuk mengurangi ketegangan setelah bercerita panjang lebar. Tepat saat itu mata gue menangkap sosok Lyoid yang berjalan dengan membawa semangkuk bakso dan es jeruk menuju meja kantin, mencari-cari jika masih ada tempat kosong di kantin. Langsung saja tangan gue melambai untuk memberi isyarat padanya agar bergabung di meja kami. Lyoid dengan ekspresi datar menghampiri meja kami dan duduk di kursi sebelah gue yang masih kosong. Luca dan Marin saling berpandangan.

“Kenalin ini temen-temen gue, Marin dan Luca. Pasti lo juga udah kenal kan sama Luca? Dia kan temen sebangku lo,” kata gue sok yakin.

“Hai guys.” Sapa Lyoid singkat kemudian mulai menyantap baksonya tanpa memperdulikan apapun lagi. Marin dan Luca masih saling berpandangan tapi kini di wajah mereka ketambahan ekspresi melongo.

“He-ii” jawab mereka dengan muka cengo’.

Karena nggak ada lagi bahan pembicaraan jadi kami mulai menyantap bakso di meja. Kantin semakin sesak dan murid-murid berjubel mengantri pesanan makanan. Satu dua orang yang melewati meja kami berusaha curi-curi pandang ke arah Lyoid kemudian entah mengapa gue rasa semakin banyak lagi yang curi-curi pandang ke meja kami tentunya untuk melihat Lyoid. Bisa ditebak dengan jelas siapa mereka itu tentunya. Murid-murid cewek!

Deg! Lagi-lagi pandangan gue beradu dengan Rheam. Kenapa sih dia mesti ada dimanapun jangkauan mata gue memandang? Kenapa dia nggak bisa tinggalin gue barang sedetik aja menikmati makan di kantin dengan damai? Batin gue frustasi yang sebenernya cuma lebay karna dimana lagi tempat tujuan utama semua murid saat istirahat yang sudah kelaparan kalau bukan di kantin.

Rheam duduk di meja paling mencolok seperti biasa dengan dikerubungi para fansnya. Cindy, Vivi dan Tania pastinya nggak kan pernah ketinggalan di barisan depan. Kali ini perbedaannya Cindy dan kedua temannya selain berusaha mencari perhatian Rheam mereka juga sesekali melirik ke meja kami dan memperhatikan Lyoid yang sibuk makan. Dalam hati gue bersyukur Lyoid nggak merespon mereka juga para cewek lain yang sedari tadi memperhatikannya.

Gue segera mengalihkan pandangan dari Rheam, tapi dari sudut mata gue masih dapat melihatnya sedang menatap gue tanpa berkedip. Sialan.

Lyoid sudah selesai dengan acara makannya. Gila cepet banget. Tanpa sadar gue terkesiap. Ia menyedot tetes terakhir jus jeruknya dan memandang gue. Mata abu-abunya terlihat sangat besar dan indah. Bulu matanya panjang dan lentik tapi terkesan alami. Apa setiap cowok Caucasian punya mata seindah itu? Gue rasa memang Lyoid lah yang diberkati mata seindah itu.

“Pulang sekolah nanti apa ada acara?” Bibir merah Lyoid yang indah mengucapkan kata-kata yang ditujukan pada gue. Sesaat gue terlonjak dari lamunan saat sebelumnya sedang terfokus pada tatapan mata dan bibirnya yang menawan.

“Eh, apa?” gue pura-pura bodoh.

“Aku butuh sedikit bantuan lagi. Apa kamu bisa?” Expresinya datar seperti biasa tanpa terlihat risih saat Marin dan Luca memperhatikannya dangan ekspresi heran. Heran karena kami terlihat layaknya sudah akrab, padahal Lyoid terkesan dingin pada yang lain.

“Eh-iya.” Jawab gue cepat dan terkesan grogi.

“Baguslah, ku tunggu sehabis sekolah.” Kemudian Lyoid pun membereskan mangkuk dan gelasnya dan pergi membayar makanan. Setelah itu ia beranjak keluar kantin tanpa menoleh lagi. Mata gue masih mengekor ke sosoknya hingga ia tak terlihat lagi dari pandangan.

“Ada yang punya kencan abis pulang sekolah nih,” kata Marin terdengar sedang menggoda.

Kencan? Pipi gue memerah. Apa mungkin bisa disebut kencan? Dia nggak jelas tunjukin maksudnya apa ketika bertanya tadi. Lyoid kan cuma butuh bantuan gue. Tapi kenapa mesti gue? Ah-ha! Pertanyaan masuk akal. Selama ini Lyoid nggak mengenal orang lain lebih akrab di sekolah barunya selain gue – kalau bisa disebut akrab setelah beberapa kali insiden memalukan yang membuat kami jadi tanpak ‘akrab’ -- . Jadi wajar kalau ia minta bantuan gue. Gue mencoba meyakinkan diri. Selain itu, kemaren gue juga udah pernah jalan sekali dengannya keluar sekolah saat bantuin dia mengurus prabot pindahan di apartemennya. Apa itu juga bisa disebut kencan? Berarti gue udah pernah kencan dengan Lyoid? Pipi gue memanas.

“Apaan sih Marin, orang gue cuma mau bantuin dia kok.”

“Tapi kenapa dia minta elo? Kaya’ kalian udah akrab banget?” tanya Marin penuh selidik.

“Beberapa kali emang gue udah pernah ngobrol sama dia.”

“Maksud lo waktu lo ketemu dia di halaman belakang sekolah dan waktu lo seret dia keluar kelas kemarin itu?”

“Yah, beberapa diantaranya.”

“Lo udah pernah ketemu dia selain itu?” kali ini Luca yang bertanya penuh rasa penasaran.

“Iya.” Jawab gue malu-malu. Wajah Luca tampak gusar dan sedikit cemberut.

“Lo naksir dia, Lun?”

“A-apa?” gue nggak bisa jawab. Bingung harus ngomong apa. Sepertinya emang bener gue naksir Lyoid tapi masih malu untuk bilang ke sohib-sohib gue.

Tanpa gue sadari Rheam memantau setiap gerak-gerik gue sedari tadi. Sepertinya ia juga mendengarkan setiap pembicaraan gue dengan temen-temen gue, juga pembicaraan gue dengan Lyoid tadi.

Dering bel menyelamatkan gue dari sesi interogasi Marin dan Luca. Kami segera pergi ke kelas setelah gue mendesak mereka berdua untuk jalan. Saat berjalan melewati meja Rheam, ia memandang gue lekat-lekat seakan tak ingin melepaskan pandangannya dari gue. Bikin risih aja tuh orang. Tapi gue nggak menoleh. Kalau gue lakuin itu sama saja gue perduli dengannya. Sebisa mungkin gue nggak melakukan kontak apapun dengan Rheam di sekolah agar murid-murid yang lain nggak tau hubungan gue dengan Rhaem. Gue rasa Rheam juga sependapat dengan alasan jaga image-nya. Tapi kenapa dia nggak bisa berhenti perhatiin gue?

Gue pun segera melesat ke kelas sebelum tertusuk lebih dalam oleh pandangannya.

Pelajaran jam kelima dan keeman sama membosankannya dengan pelajaran sebelumnya. Yang membuat gue masih betah berada di kelas sudah pasti cowok yang duduk di seberang gue. Lyoid. Ia tak nampak serius memperhatikan guru yang sedang menerangkan kalkulus di papan tulis namun ia lebih memilih mencoret-coret notesnya seperti sedang membuat sketsa seseorang atau apapun. Gue nggak bisa lihat jelas. Namun begitu Lyoid menyadari sedang diperhatikan ia menutup buku notesnya dan menoleh kearah gue. Gue seperti terhipnotis sesaat oleh pandangan matanya. Lalu dengan malu-malu kembali mengarahkan pandangan ke atas meja. Moga aja Lyoid nggak nyadar kalau muka gue berwarna semerah kepiting rebus saat ini.

Saat bel istirahat kedua berdering gue butuh segera membasuh muka di toilet. Gue yakin muka gue udah nggak karu-karuan warnanya setelah selama sisa jam pelajaran menahan panas yang menjalar ke seluruh wajah dan leher. Jadi tanpa berkompromi dengan Marin ataupun Luca, segera saja gue melesat menuju toilet.

Langkah gue berderap cepat sepanjang jalan menuju toilet. Seseorang dengan tubuh tegap menabrak gue di lorong yang sedikit sepi. Atau lebih tepatnya gue yang menabraknya. Wangi parfume mawar merebak di sekitar tempat itu. Gue sepertinya kenal wangi ini dan sudah tak asing lagi. Tubuh cowok itu persis dihadapan gue. Wajah gue menempel di dadanya. Dia lebih tinggi dari gue. Hanya butuh waktu sepersekian detik untuk mendongak ke wajahnya dan mengenalinya. Wajah familiar itu begitu tenang dan …. tampan! Sial! Itu Rheam dan nggak bisa dipungkiri dilihat dari jarak sedekat ini ia nampak lebih indah. Wait!? Apa yang barusan gue katakan? Indah. Ugh. Harusnya gue nggak memuji dia. Tapi matanya, hidungnya, bibirnya dan wajahnya nampak nyaris sempurna dan rambut hitam legamnya kontras dengan kulit putih bersih miliknya. Darah separuh Caucasian dan Indo yang ia miliki berpadu dengan sempurna.

Gue tersadar dari lamunan beberapa detik sebagai kata ganti yang pas dari kata mengagumi andai gue nggak mau mengakuinya dan segera memundurkan kaki beberapa langkah, mengesampingkan semburat merah yang mulai timbul lagi di pipi setelah bersusah payah meredamnya saat di kelas. Kenapa kali ini terjadi lagi? Dan kenapa harus dengan Rheam? Sialan. Kenapa gue harus ketemu dengannya di sini? Terlalu banyak kenapa.

“Ugh, ngapain lo disini? Nggak maksud ngerjain gue di sekolah kan?” tanya gue hati-hati bercampur sedikit frustasi.

“Kalau iya kenapa?” Suara Rheam terdengar arogan.

“Lo nggak mau semua orang di sekolah tau kita bersaudara, kan?” saat mengatakannya gue coba memelankan suara serendah mungkin. Menengok kanan-kiri takut-takut kalau ada yang mendengar pembicaraan kami. Untungnya tak ada banyak orang di sekitar kami. Posisi kami masih jauh dari jangkauan pendengaran orang lain.

“Saudara tiri tepatnya.” Rheam menambahi.

“Ugh, jadi apa mau lo?”

Firasat gue udah nggak enak sejak memandang senyum sinis di wajahnya. Hebat sekali dia bisa menyembunyikan senyuman itu selama ini dari orang lain tanpa ketahuan kedoknya.

“Ikut gue!” kata Rheam.

Entah mengapa gue nggak bisa menolak perintahnya dan segera mengikutinya berjalan di belakang. Mungkin karena perasaan telah terikat menjadi budaknya. Sepanjang lorong kami berjalan dalam diam dan ia membawa gue ke ruang OSIS. Ruang OSIS ada di lantai bawah dan nampak sepi.

“Bawa kardus-kardus itu ke gedung olah raga.” Ia menunjuk pada kardus-kardus di sudut ruang OSIS. Ada kira-kira selusin kardus berukuran kecil hingga lumayan besar.

“Apa gue harus pindahin semua ini sendirian?” tanya gue ragu-ragu.

“Iya elo, siapa lagi.” Jawab Rheam ketus.

“Elo batuin kek.”

Dengan tiba-tiba wajah Rheam udah ada di depan gue. “Denger, lo budak gue. Jadi lakuin apa yang gue suruh.” Rheam mengatakannya dengan penekanan di tiap kata.

Ugh. Tanpa menjawab lagi gue segera menuju kardus-kardus itu dengan satu hentakan keras sepatu di lantai. Rheam hanya mengikuti gerakan gue dengan ekor matanya. Kedua tangannya tersilang di dada. Kardus-kardus itu segera gue bawa keluar dengan menumpuknya dari yang berukuran besar hingga paling kecil. Sisanya masih tergeletak di lantai, akan gue bawa lagi nanti.

Berjalan dengan membawa tumpukan kardus-kardus hingga setinggi mata memang tidak mudah. Apa lagi kardus-kardus ini cukup berat. Jadi pengen tau apa sih isinya. Rheam sialan, dia emang pandai manfaatin segala kesempatan buat manfaatin gue. Pasti dia emang udah sengaja nunggu di koridor buat nyeret gue untuk angkat kardus-kardus ini. Gue terus menggerutu selama perjalanan ke gedung olah raga, tanpa menyadari beban yang mengelayuti tangan gue berkurang tiba-tiba. Seseorang mengangkat kardus-kardus di bagian atas tangan gue dan membawanya beriringan di samping gue hingga menyisakan satu kardus saja di tangan gue.

“Mau dibawa kemana ini semua?” tanya suara berat dan sexy di sebelah gue.

“Lyoid.” Ucap gue terkejuat alih-alih menjawab pertanyaannya.

Lyoid memberikan pandangan seolah menegaskan kembali pertanyaanya. Gue buru-buru menjawab, “Gedung olahraga.”

Kami ke gedung olahraga. Meletakkan kardus-kardus itu di ruang penyimpanan. Lyoid tak nampak kelelahan setelah mengangkat kardus-kardus besar dan berat di tangannya. Wajahnya tenang seperti biasa.

“Apa masih ada lagi?” tanyanya.

“Sebenarnya masih ada…”

“Apa perlu bantuan lagi?”

“Nggak,” gue buru-buru menjawab. “Sorry maksud gue nggak usah, cuma tinggal dikit lagi,” kata gue dengan nada bersalah dan sedikit memelas. Jangan sampai Lyoid tau ini semua kerjaan Rheam.

“Siapa yang suruh bawa kardus-kardus ini?” tanya Lyoid seakan bisa baca pikiran gue.

“Hmm.. tugas dari OSIS.” Nggak sepenuhnya bohong, Rheam si ketua OSIS yang nyuruh gue walaupun dia udah seenaknya mafaatin jabatannya itu. Wajah Lyoid sekilas menampakkan ekspresi yang nggak bisa gue tebak.

“Ok, kalau udah nggak butuh bantuan lagi. Sampai ketemu nanti.” kata Lyoid yang langsung melangkahkan kaki keluar dari ruang penyimpanan dan beranjak keluar gedung olahraga. Bahkan nggak nunggu jawaban dari gue.

Sampai ketemu nanti! Tiba-tiba terngiang lagi ucapannya. Nanti pasti maksudnya abis pulang sekolah. Muka gue langsung memanas. Sebelum panasnya nyampe ke ubun-ubun gue segera melangkahkan kaki keluar gedung untuk mengambil sisa kardus yang masih ada.

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Free Samples