Kamis, 01 September 2011

HIGH SCHOOL DISASTER (CHAPTER 4)

HIGH SCHOOL DISASTER (CHAPTER 4)

Story by Sierra

Pagi ini seperti biasa gue berangkat cukup awal ke sekolah untuk menghindar dari Rheam. Dengan santai gue berjalan menyusuri lorong menuju ke kelas 1IPA5 di lantai dua. Setelah menaiki tangga tak jauh dari kelas gue, gue melihat segerombolan cewek berdiri berdesakan di depan kelas 1IPA5. Kebanyakan mereka adalah anak kelas 1 dari kelas sebelah.

Gue memutar bola mata menyaksikan pemandangan tersebut. Apa gerangan yang sedang mereka lakukan disana? Apa Rheam ada disana sehingga cewek-cewek itu sengaja datang melihat? Maklum saja, dimana ada Rheam di sekolah pasti tak luput dari kejaran para ‘fans-nya’. Huhh, gue mendenguskan nafas kesal berjalan mendekati kelas.

Wow, ternyata ramai sekali disini hampir-hampir gue nggak dapat melangkahkan kaki kedalam.

“Permisi-permisi. Gue mau lewat” akhirnya setelah berjuang dengan sangat keras berhasil juga gue melangkahkan kaki kedalam kelas.

Di dalam kelas riuh ramai kambali terdengar. Ada Lyoid disana duduk dibangkunya. Di kanan kiri Lyoid cewek-cewek penghuni kelas sedang ramai mengobrol dengannya. Ok, lebih tepatnya memaksa Lyoid untuk berbicara dengan mereka, namun Lyoid hanya menanggapi mereka sesekali. Pantas saja! Ini yang membuat kelas gue bagai pasar dadakan.

Akhirnya gue duduk di bangku gue. Otomatis gue berjalan mendekat ke arah Lyoid menuju bangku gue diseberang. Dapat gue lihat wajah Lyoid nampak tak nyaman dikerubungi begitu banyak orang.

Di sebelah kiri sudah ada Marin saat gue menoleh. Luca berdiri didekat Marin karna bangkunya ditempati sementara oleh pada cewek centil yang mengerubungi Lyoid.

“Udah dari tadi mereka disini. Nggak nyangka ya ternyata anak baru yg lo maksud bisa jadi popoler banget kaya gini. Emang kata-kata lo kemarin nggak salah Lun!” Kata marin menjelaskan.

“Huh, gue sebel jadi nggak bisa duduk dibangku gue sendiri kan.” Tambah Luca mengomentari.

“Kasihan juga padahal pelajaran masih setengah jam lagi.”

Dengan inisiatif sendiri gue bangkit dari tempat duduk dan menerobos kerumunan cewek didekat Lyoid, menarik tangannya dan berjalan keluar kelas. Luca dan Marin nampak heran melihat aksi tiba-tiba gue begitu juga cewek-cewek dalam kelas.

Gue mempercepat langkah kaki berjalan sepanjang koridor sambil tetap menggandeng tangan Lyoid menuju ke suatu tempat yang gue anggap aman. Semua mata mamandang ke arah gue dan Lyoid. Yup, gue nggak peduli. Ada Rheam juga disana yang mengamati kami dari lantai tiga dengan wajah penasaran.

Sampai di halaman balakang akhirnya gue lepasin tangan Lyoid. Halaman belakang cukup sepi karna letaknya yang cukup jauh. Lagian kalau dipikir-pikir halaman belakang sekolah lebih mirip seperti hutan kecil karna banyak pepohonan besar dan rindang. Bukannya tempat yang cukup populer dikunjungi para siswa karna masih banyak tempat lain yang lebih nyaman di area sekolah.

Lyoid mamandang gue dengan ekspresi datar. Wajah bodoh gue muncul tiba-sata saat menyadari kelakuan bodoh yang baru gue lakukan.

“Sorry, gue lancang pake main langsung tarik aja tanpa permisi ke elo abisnya…”

“Thanks.” Ucap Lyoid memotong kata-kata gue.

Gue menatap mata Lyoid yang berwarna abu-abu. Kejadian kemarin saat diapartemennya terlintas lagi dalam kepala. Muka gue memerah seketika.

“Nggak apa-apa kok. Gue liat lo nampak nggak nyaman waktu di kelas jadi gue bawa lo kesini.”

“Sebenarnya aku juga ingin keluar kelas.”

Lyoid menghampiri sebuah pohon rindang tak jauh dari tempat kami berdiri dan duduk dibawahnya bersandar pada batang pohon. Gue mengikuti Lyoid duduk disebelahnya. Semilir udara pagi menerpa tubuh kami ditemani kicauan burung yang banyak bersarang di pohon-pohon. Kelas masih lama sebelum dimulai. Untuk sementara kami bertahan seperti ini sampai dering bell bel berbunyi.

“Gila lo Lun, nggak nyangka lo berani juga bawa kabur Lyoid.” Kata Marin saat kami bertiga dalam perjalanan menuju kantin sekolah di jam istirahat.

“Abis rasanya gue nggak bisa tinggal diam ngelihat Lyoid kwalahan diserbu orang banyak. Padahal gue tau kalo ia ngerasa nggak nyaman. Kasihan tau.” Jawab gue.

“Tapi aksi lo udah bikin heboh orang sekelas. Lagian kayaknya lo udah akrab banget ya ama Lyoid. Bukannya baru ngobrol sekali?” Luca bertanya dengan sedikit bersungut.

Muka gue langsung berubah merah. Marin dan Luca belum tahu kalau selain pertemuan tempo hari yang gue ceritain ke mereka gue juga udah pernah beberapa kali ngobrol dengan Lyoid. Bahkan melihat wajahnya dari jarak sangat dekat.

“Kenapa lo lun?”

“Eh nggak.” Gue berusaha mengalihkan perhatian. “Eh, itu ada Lyoid di pojok lapangan basket.”

Perhatian kami seketika tertuju pada sosok cowok berkulit putih dan tinggi yang sedang duduk sendiri di bangku penonton pinggir lapangan.

“Kesana yuk gue kenalin!” kata gue bersemangat menggandeng tangan kedua sohib gue.

Ternyata ada Rheam juga sedang bermain basket di lapangan. Beberapa kali ia mencetak skor mengalahkan temen-temannya yang menjadi lawan mainnya. Di pinggir lapangan beberapa gadis bergerombol menyoraki Rheam dan berteriak histeris saat Rheam berhasil mencetak skor.

“Lyoid!!” seru gue dari jauh.

Sebuah bola basket yang menggelundung ke arahnya mengalihkan perhatiannya. Ternyata itu bola dari Rheam yang tak sengaja terpental saat hendak memasukkan bola ke ring.

Ia memungut bola itu ditangannya. Rheam berdiri ditengah lapangan mengamati apa yang akan dilakukan cowok bermata abu-abu itu selanjutnya. Waktu nampak berhenti sejenak menanti saat-saat menegangkan yang entah mengapa gue rasakan.

Dengan gerakan tenang dan pasti Lyoid menganggkat bola itu hingga tepat diatas kepalanya dan melakukan shooting dengan gerakan indah ke ring basket di sisi sebelah lapangan. Bola itu melambung tinggi melampaui Rheam dan mendarat tepat ke dalam keranjang mencetak skor 3 point.

Semua yang ada di lapangan menengok ke arah Lyoid termasuk para cewek yang sedari tadi menyoraki Rheam. Sepertinya semua orang sedang terkagum dengan cowok bule tanpa ekspresi itu.

Entah apa yang Rheam pikirkan. Ia memandang tajam ke arah Lyoid dalam selang waktu beberapa detik penuh arti. Kemudian pergi meninggalkan lapangan diam-diam disaat semua mata masih memandang sosok cowok yang baru mereka lihat di sekolah.

Semua nampak sepi saat gue pulang kerumah membuat hati gue bertanya-tanya dimanakah semua orang. Biasanya ada mama yang sedang bereksperimen di dapur atau Rheam yang tiba-tiba muncul di saat yang tak terduga. Pelayan rumah tangga yang biasanya membantu mama memasak atau mengerjakan hal lain juga tidak nampak bersliweran di rumah besar ini. Kalo ‘papa’ sudah pasti di jam segini masih di kantor dengan setumpuk pekerjaan hebatnya.

Dengan was-was gue menaiki tangga ke lantai dua dimana kamar gue berada. Berjarak dua ruangan dari kamar gue ialah kamar Rheam. Pintu kamarnya tertutup rapat seperti biasanya dan gue yakin ia pasti juga menguncinya dari dalam. Rheam biasa menginci kamarnya bila ia sedang berada di dalam kamar atau kemanapun ia pergi.

Tiba-tiba gue mengurungkan niat pergi ke kamar. Gue rasa pasti ada seseorang di rumah jadi gue memutuskan untuk mencarinya. Karena menurut gue tak ada seorangpun di lantai satu dan dua jadi gue menaiki tangga kelantai tiga siapa tau bakal nemuin seseorang di lantai atas. Kemungkinan terburuk paling kalau ketemu Rheam gue bisa langsung cepat-capat kabur sebelum dia bertindak macam-macam. Taulah Rheam paling hobi ngerjain gue kalo di rumah.

Di lantai tiga tepatnya di ruang keluarga kediaman Collins ternyata juga sepi tak ada siapapun. Gue merasa lega juga merasa sedikit merinding. Lega karena gue nggak menemukan sosok Rheam sang penjahat bertampang pangeran dan merinding karena rumah tiba-tiba seperti bernuansa horor karna tak ada siapapun kecuali gue sekarang. Di tambah lagi rumah mewah ini bergaya kuno ala victorian yang mengingatkan gue akan film-film atau novel-novel horor terjamahan yang sering gue baca disaat waktu senggang.

Rasanya sekarang gue seperti berada di dalam novel tersebut dan seorang pembunuh berantai sedang mengintai gue dari sudut tempat di rumah ini. Seharusnya di novel-novel seperti itu bakal ada seorang pangeran tampan atau kesatria yang menolong gue disaat terdesak. Tapi dalam cerita gue tak ada seorangpun pangeran atau kesatria yang sekarang ini akan berusaha menolong gue kalau tiba-tiba terjadi sesuatu yang tak diinginkan dirumah ini. Tunggu, kenapa yang terlintas dipikiran gue malah Lyoid? Mungkin karena sosok dia yang menawan dan tampang bulenya yang identik dengan tokoh-tokoh pangeran tampan dalam novel terjemahan kali ya? Tapi Lyoid itu malaikat bukan pangeran. Pikiran gue jadi ngelantur kemana-mana gara-gara suasana rumah yang sunyi. Lyoid bukanlah siapa-siapa, bukan malaikat ataupun pangeran. Hanya seorang cowok yang ‘kebetulan’ gue kenal di bawah pohon saat tertidur di jam pelajaran dan sedikit aneh sifatnya. Sudah pasti aneh kalau lebih mementingkan tidur di bawah pohon dari pada mengikuti pelajaran dan membolos di jam matematika si guru killer. Juga wajah dengan ekspresi datar disegala situasi yang selalu bikin muka gue nggak jelas sedang berubah menjadi warna apa.

Lamunan gue buyar menyadari hal bodoh yang sedari tadi gue pikirkan. Alih-alih memikirkan hal bodoh lain yang mungkin akan terlintas lagi diotak gue seperti melihat Lyoid yang datang tiba-tiba dengan baju pangeran lengkap dengan kuda putihnya atau Rheam yang tiba-tiba muncul pakai kostum pocong dan bau kemenyan gue berjalan pergi menuju sisi ruangan yang lain dimana koleksi barang-barang antik di simpan.

Ternyata berada diruangan ini tak membuat suasana hati gue lebih baik dari sebelumnya karena runagan ini dipenuhi dengan berbagai macam barang yang bisa disebut aneh dan memang terkesan unik. Mulai dari hiasan kaca berukuran mini hingga patung kayu raksasa di pojok ruangan yang gue lihat-lihat berasal dari daerah sekitar Amazon. Wow, ruangan ini hampir mirip dengan sebuah musium mini. Barang-barangnya dijajar dalam lemari-lemari kaca besar bersusun hingga atas sesuai tema dan bahannya. Selain itu ada juga yang ditempatkan diatas lemari besar dari kayu jati berupa souvenir-souvenir dari manca negara. Nampak sekali kalau papa tiri ternyata suka traveling keliling dunia dan berburu cinderamata.

Ok, yang membuat seram ruangan ini sudah pasti patung-patung kuno entah dari jaman apa dan berasal dari mana yang diletakkan hampir mengelilingi seluruh rungan dan sebagian berada didalam lemari kaca. Karena sebagian patung-patung itu berukuran lebih besar dari lemari kaca dan tidak muat untuk dimasukkan kesana kupikir itu alasannya diletakkan di sudut-sudut ruangan atau memang sudah begitulah tempatnya. Apapun itu, yang jelas gue udah dibikin merinding dengan patung-patung yang seolah hidup dan sedang memandangi gue sekarang.

Lebih baik gue segera pergi dari tempat ini kalau tak mau melihat penampakan yang tiba-tiba muncul entah dari mana. Namun ada benda lain yang menarik perhatian gue yang mengurungkan niat gue untuk segera pergi yaitu kumpulan hiasan dari kaca yang diletakkan di dalam lemari di salah satu sudut ruangan. Gue menghampiri lemari kaca tersebut dan berdiri tepat di depannya. Beberapa detik seperti terhipnotis akan keindahan semua hiasan kaca di dalam lemari. Ada berbagai macam bentuk hisan dan warna. Semuanya nampak gemerlapan. Sangat indah.

Disaat tak sengaja melirik kesamping kanan, terlihat sosok menyeramkan bermata merah dengan jubah rumbai-rumbai hitam yang kontan membuat gue terkesiap dan memundurkan kaki beberapa langkah sehingga tak sengaja menabrak sebuah meja dan menjatuhkan sebuah hiasan kaca antik yang berada diatasnya. Bunyi kaca pecah terdengar nyaring memenuhi ruangan. Jantung gue berdebar keras karna shock oleh dua hal buruk yang gue alami hampir bersamaan yaitu melihat sosok menyeramkan dan menjatuhkan sebuah hiasan antik yang pastinya berharga sangat mahal. Untungnya salah satu penyebab shock gue dapat teratasi setelah mengetahui kalau sebenarnya sosok menyeramkan yang baru saja gue lihat hanyalah sebuah patung yang dipakaikan pakaian mirip manusia. Untuk sesaat gue menghela nafas lega tapi tidak lagi setelah teringat kembali dengan pecahan hiasan kaca yang tersebar dilantai menjadi serpihan-serpihan kaca. Tepat saat itulah Rheam muncul dari balik pintu dan melihat gue dengan segala kekacauan yang baru gue timbulkan. Sial

“Gue nggak sengaja!” kata gue lebih dulu sebelum Rheam sempat melontarkan makiannya yang yakin bakal gue dapat dari mulutnya. Namun Rheam tak berkata apa-apa dan berjalan menghampiri serpihan kaca itu.

‘Sialan.’ Gerutu gue dalam hati.

“Lo tau berapa harga barang yang baru lo pecahin ini?” tanya Rheam yang akhirnya buka mulut, “Yang pasti lo nggak akan mampu bayar walau bekerja keras seperti apapun. Dan apa lo tau kalau ini adalah lampu hias dari kaca yang sangat papa sayangi? Papa pasti bakal marah besar kalau tau lampu hias kesangannya sudah pecah berkeping-keping begitu sampai dirumah.”

Tubuh gue merinding mendengar ucapan Rheam. Apa lampu hias itu sangat tinggi nilainya sampai dia bilang gue nggak bakal mampu ganti. Kalau dilihat dari keseluruhan barang yang ada diruangan ini memang semuanya nampak berharga. Gue rasa Rheam nggak sedang main-main mengatakannya.

“Gue akan tetap berusaha ganti.” Kata-kata itu meluncur sendiri dari lidah gue walau gue tau kemungkinan merealisasikannya sangat sulit.

Rheam hanya tertawa menanggapi. “Sampai kapan lo mau berusaha ganti? Apa lo punya berjuta-juta uang untuk menggantinya? Oh, mungkin belum sampai lo bisa ngelunasin seluruh hutang lo, lo udah ditendang keluar dari rumah ini. Papa paling tidak suka kalau ada seseorang yang merusak koleksi kesayangannya walau mereka orang terdekatnya sekalipun. Apa lagi elo yang baru masuk rumah ini beberapa minggu saja. Sudah pasti papa bakal marah besar. Dan apa lo memikirkan nasib mama lo yang harus menanggung segala akibat dari apa yang lo perbuat? Masalahnya nggak akan segampang itu diselesaikan.”

DEG

Mama gue juga bakal kena?

“Gue…” kata-kata gue tercekat di tenggorokan karna tak tau harus berkata apa. Semua yang dikatakan Rheam nampaknya masuk akal dan terngiang-ngiang di kepala.

“Tapi gue punya pilihan buat elo.”

Firasat gue tiba-tiba nggak enak mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Rheam barusan.

“Gue nggak akan bilang apa-apa ke papa dan gue yang akan mengganti semua kerusakan ini asalkan lo bersedia jadi budak gue selama satu semester.”

“SELAMA SATU SEMESTER JADI BUDAK ELO??? LO GILA APA???”

“Terserah kalau lo mau selesaiin urusan ini sendiri. Tapi seperti yang tadi gue bilang urusannya bakal tambah runyam dan nggak cuma ngelibatin elo. Elo juga nggak bakal mampu bayar itu sudah pasti.”

Huh kalau seandainya saja ada salah satu barang antik diruangan ini berupa tombak atau garpu tala pasti sudah gue tusukin ke Rheam saat ini juga. Sayangnnya nggak ada benda semacam itu diruangan ini yang ada cuma tongkat pemukul baseball yang tergantung di dinding tepat diatas meja kayu besar tempat pajangan barang antik yang sudah jelas tak dapat gue jangkau. Bisa pun tak akan mempan membuat pingsan Rheam dan paling hanya akan meninggalkan sedikit luka benjol dikepala. Gue akui tubuh Rheam jauh lebih atletis daripada gue. Yaiyalah nggak mungkin bandingin cowok dangan cewek. Apalagi Rheam memang seorang olahragawan. Tapi itu semua nggak penting karna gue sekarang harus memutuskan pilihan apakah gue akan jadi budak Rheam satu semester atau menghadapi tanggung jawab gue sendiri dengan semua resiko yang ada.

“Gue mau jadi budak elo.” Akhirnya kata-kata itu yang keluar dari mulut. Rasanya gue pengen nampar muka gue sendiri saat mengatakannya. Tapi apa boleh buat setelah menimbang-nimbang resiko paling kecil yang akan gue hadapi dan tentunya tidak akan melibatkan mama, gue memutuskan untuk menjadi budak Rheam.

“Bagus, mulai sekarang lo harus turutin semua perintah gue.” Senyuman menyeringai ala film horor dapat gue lihat di wajah Rheam. Firasat gue semakin bertambah buruk. Gue sudah terjebak dalam perangkap Rheam. Tinggal menunggu nasib buruk apa yang akan mengikuti gue selanjutnya.

“Oya, lo bisa mulainya dengan membersihkan pecahan kaca di ruangan ini. Palayan rumah hari ini sedang cuti.” Katanya sambil memutar badan beranjak keluar ruangan namun ia kembali berbalik ketika sampai di depan pintu. “Satu lagi, apa lo sudah tau papa dan mama pergi selama sebulan untuk bulan madu ke Eropa, mereka berangkat pagi ini dan sepertinya rencananya memeng mendadak. Mereka sudah meningalkan pesan melalui fax di ruang kerja papa.” Mata Rheam menyorot tajam ke gue. “Kita akan menghabiskan banyak waktu bersama selama sebulan.”

Bulu kudu gue merinding melihat senyum misterius di wajah Rheam. Apa yang bakal Rheam lakuin ke gue sebagai budaknya selama papa dan mama pergi bulan madu? Semua bayangan buruk terlintas satu persatu dalam otak. Mungkin tadi bukan keputusan tepat untuk memilih menjadi budak Rheam.

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Free Samples