Kerangka acuan tersebut disepakati dalam sidang komisi tim teknis Amdal di Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Sumbar, Kota Padang, Kamis (11/8/2011) di tengah banyaknya kontroversi.
"Darurat ekologis akan disusul ancaman nyata jika perkebunan kelapa sawit jadi masuk ke Mentawai," kata Direktur Eksekutif Walhi Sumbar Khalid Saifullah, Jumat (12/8/2011).
Khalid menjelaskan, Mentawai terdiri dari pulau-pulau kecil yang tidak punya air tanah melainkan air permukaan yang membutuhkan tutupan kawasan hutan yang luas. "Jika perkebunan kelapa sawit masuk, otomatis tidak ada lagi tutupan kawasan hutan," katanya.
Ia mengemukakan, kehadiran perkebunan kelapa sawit akan mencemari sungai-sungai yang menjadi urat nadi kehidupan orang Mentawai. Perkebunan kelapa sawit secara otomatis juga akan memberangus ladang-ladang warga yang ditanami pohon sagu, keladi, dan pisang untuk memenuhi kebutuhan pangan.
"Itu masih ditambah seringnya badai berkecamuk sehingga bahan makanan lain juga sulit dikirim dari Padang. Jika ini terjadi, akan seperti upaya penghilangan orang-orang Mentawai," tutur Khalid.
Kerangka acuan Amdal yang sudah disepakati itu meliputi tiga pulau utama di Kepulauan Mentawai, yakni Pagai Utara, Siberut, dan Sipora, dengan total luas sekitar 73.500 hektar. "Kita menolak dokumen Amdal untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit di Kepulauan Mentawai sampai kapanpun," tegas Khalid.
Sebelumnya, Robert Sihite, kuasa PT Rajawali Anugerah Sakti yang mengajukan kerangka acuan Amdal untuk Kecamatan Pagai Utara, Sipora Selatan, dan Sipora Utara dengan luas sekitar 14 ribu hektar meminta agar masyarakat memahami rencana perkebunan kelapa sawit di Mentawai. "Kita ini usaha perkebunan yang juga melekat dengan lingkungan dan masyarakat," ujarnya.
PADANG, KOMPAS.com