Tentang Kupu-kupu dan "Peuyeum"
ADAPUN mengapa kupu-kupu itu indah, orang suka terkesima dan barangkali lupa untuk tidak memperhatikan proses kehadirannya. Padahal, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kupu-kupu itu dulunya ulat. Lalu ulat itu menjadi kepompong, sebelum akhirnya menjadi kupu-kupu. Semua proses itu dalam pelajaran biologi dikenal dengan sebutan metamorfosis. Apa hubungannya itu semua dengan kita, khususnya di bulan suci Ramadhan ini? Sebenarnya yang saya tulis ini sudah "common sense" saja, sudah banyak diulas oleh penceramah-penceramah agama "kelas kampung" hingga "kelas lux" (ingat penceramah itu juga ada kelas-kelasnya, kalau ukurannya adalah kapitalisasi materi). Bahwa metamorfosis itu dikaitkan dengan proses spiritual puasa Ramadhan ini jelas kita manusia, terlebih yang beriman ini, bertabiat rakus atau suka tak kuat menahan godaan, suka khilaf, sombong, menumpuk harta, atau perbuatan-perbuatan lain yang membuat dosanya menumpuk. Itulah manusia yang ibarat ulat. Perhatikan ulat itu makan, makan, dan makan saja. Sikat, sikat, dan sikat apa-apa yang ada dihadapannya, untuk "mengenyangkan perutnya". Benar kata Ki Dalang, namanya j uga "menungso yang berarti "menus-menus tur ngongso", manusia itu cenderung rakus.
Persoalannya, apakah kita, akan terhenti pada fase ulat, padahal kita tahu kelak akan ada fase kupu-kupu sebagai hasil dari suatu proses metamorfosis itu? Saya kira semua manusia ingin menjadi kupu-kupu yang indah, simbol atas kesempurnaan proses menjadi manusia sejati yang hanif. Hanya saja kerap manusia lupa akan kesadarannya untuk ke sana. Godaan dunia membuatnya susah meninggalkan watak dan perilaku rakusnya, sehingga tak mau beranjak ke fase kepompong, fase berpuasa, penyucian jiwa, untuk kelak lahir kembali sebagai "manusia baru*.
Fase kepompong merupakan fase yang menentukan dari ulat menjadi kupu-kupu. Ia adalah fase bertapa, berkontemplasi, menahan atau mengendalikan diri, bersabar untuk menunggu perubahan dengan berpasrah kepada-Nya. Perubahan itu tentu saja dari "yang gelap" menuju "terang", ia akan membuka mata ketika kerakusan itu sima, tetapi yang muncul adalah keindahan dan kemanfaatan. Nah, para penceramah sering menjelaskan bahwa puasa kita itu seperti fase kepompong. Tolong henlikanlah kebiasaan rakus Anda, baik rakus secara fisik maupun nonfisik. Puasa tidak berarti menahan lapar dan dahaga, tetapi juga jauh daripada itu adalah menahan diri, mengendalikan nafsu sedemikian rupa sehingga memperoleh kemaslahatan diri dan sosial.
Emha Ainun Nadjib dalam sebuah ceramah pengajian Paramadina kira-kira 15 tahun yang lalu, ketika almarhum Nurcholish Madjid masih aktif, mengibaratkan puasa Ramadhan ibarat proses peragian untuk menuju kematangan rohani atau spiritual pelakunya. Fase peragian ini mirip dengan fase kepompong itu, yakni untuk mencapai "kematangan spiritual". Keindahan yang dimiliki kupu-kupu adalah simbol dari keindahan atas kematangan spiritual itu.
Anda mungkin langsung ingat peuyeum atau tape singkong, apabila mendengar "proses peragian", sebab makanaa tersebut adalah hasil peragian. Kalau prosesnya sempurna, maka rasa peuyeum itu euleuh-euleuh sungguh enaknya, lebih manis ketimbang kecut. Kalau prosesnya tidak sempurna, dapatnya cuma kecut saja. Kalau puasa kita sempurna, tentu saja hasilnya akan lebih "manis" ketimbang apabila rusak. Anda lebih tahu dan bisa menilai sejauhmana kesempurnaan puasa Anda di Ramadhan ini. Yang penting, mari kita lakukan proses puasa kita ini secara sempurna. Mudah-mudahan Allah SWT memudahkan amal-ibadah kita semua. Amin.(M Alfan Alfian, Universitas Nasional, jakarta)