Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), kini pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuth Thalibin, Rembang. Mantan Rais PBNU ini dilahirkan di Rembang, 10 Agustus 1944. Nyantri di berbagai pesantren seperti Pesantren Lirboyo Kediri di bawah asuhan KH Marzuqi dan KH Mahrus Ali; Al Munawwar Krapyak Yogyakarta di bawah asuhan KH Ali Ma’shum dan KH Abdul Qadir; dan Universitas Al Azhar Cairo di samping di pesantren milik ayahnya sendiri, KH Bisri Mustofa, Raudlatuth Thalibin Rembang.
Menikah dengan St. Fatma, dikaruniai 6 (enam) orang anak perempuan : Ienas Tsuroiya, Kutsar Uzmut, Raudloh Quds, Rabiatul Bisriyah, Nada dan Almas serta seorang anak laki-laki: Muhammad Bisri Mustofa. Kini beliau telah memiliki 5 (lima) orang menantu: Ulil Abshar Abdalla, Reza Shafi Habibi, Ahmad Sampton, Wahyu Salvana, dan Fadel Irawan serta 7 (tujuh) orang cucu: Ektada Bennabi Muhammad; Ektada Bilhadi Muhammad; Muhammad Ravi Hamadah, Muhammad Raqie Haidarah Habibi; Muhammad Najie Ukasyah, Ahmad Naqie Usamah; dan Samih Wahyu Maulana.
PROFIL PESANTREN
PONDOK PESANTREN RAUDLATUTH THOLIBIN REMBANG
PONDOK PESANTREN RAUDLATUTH THOLIBIN REMBANG
Fase Awal
Berdiri pada tahun 1945, pasca masa pendudukan Jepang, pesantren ini semula lebih dikenal dengan nama Pesantren Rembang. Pada awal masa berdirinya menempati lokasi Jl. Mulyo no. 3 Rembang saja namun seiring dengan perkembangan waktu dan berkembangnya jumlah santri, pesantren ini mengalami perluasan sampai keadaan seperti sekarang. Tanah yang semula menjadi lokasi pesantren ini adalah tanah milik H. Zaenal Mustofa, ayah dari KH. Bisri Mustofa pendiri Pesantren Rembang. Kegiatan belajar mengajar sempat terhenti beberapa waktu akibat ketidakstabilan kondisi waktu itu yang mengharuskan KH. Bisri Mustofa harus mengungsi dan berpindah-pindah tempat sampai tahun 1949.
Berdiri pada tahun 1945, pasca masa pendudukan Jepang, pesantren ini semula lebih dikenal dengan nama Pesantren Rembang. Pada awal masa berdirinya menempati lokasi Jl. Mulyo no. 3 Rembang saja namun seiring dengan perkembangan waktu dan berkembangnya jumlah santri, pesantren ini mengalami perluasan sampai keadaan seperti sekarang. Tanah yang semula menjadi lokasi pesantren ini adalah tanah milik H. Zaenal Mustofa, ayah dari KH. Bisri Mustofa pendiri Pesantren Rembang. Kegiatan belajar mengajar sempat terhenti beberapa waktu akibat ketidakstabilan kondisi waktu itu yang mengharuskan KH. Bisri Mustofa harus mengungsi dan berpindah-pindah tempat sampai tahun 1949.
Pesantren ini oleh banyak orang disebut-sebut sebagai kelanjutan dari Pesantren Kasingan yang bubar akibat pendudukan Jepang pada tahun 1943. Pesantren Kasingan pada masa hidup KH. Cholil Kasingan adalah pesantren yang memiliki jumlah santri ratusan orang dan terkenal sebagai pesantren tahassus ‘ilmu ’alat. Santri-santri dari berbagai daerah belajar di sini untuk menuntut ilmu-ilmu alat sebagai ilmu yang dijadikan keahlian khusus macam nahwu (sintaksis Arab), shorof (morfologi Arab), balaghoh (stilistika).
Atas usul beberapa santri senior dan mengingat kondisi pada waktu itu pada tahun 1955, Pesantren Rembang diberi nama Raudlatuth Tholibin dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan nama Taman Pelajar Islam. Motto pesantren ini adalah ta’allama al-‘ilm wa ‘allamahu al-naas (kurang lebih berarti: mempelajari ilmu dan mengajarkannya pada masyarakat).
Atas usul beberapa santri senior dan mengingat kondisi pada waktu itu pada tahun 1955, Pesantren Rembang diberi nama Raudlatuth Tholibin dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan nama Taman Pelajar Islam. Motto pesantren ini adalah ta’allama al-‘ilm wa ‘allamahu al-naas (kurang lebih berarti: mempelajari ilmu dan mengajarkannya pada masyarakat).
Metode Belajar Mengajar
Metode pengajaran yang dikembangkan oleh pesantren ini pada awal berdirinya adalah murni salaf (ortodoks). Pengajaran dilakukan dengan cara bandongan (kuliah umum) dan sorogan (privat). Keduanya diampu langsung oleh KH. Bisri Mustofa sendiri. Ketika jumlah santri meningkat dan kesibukan KH. Bisri Mustofa bertambah maka beberapa santri senior yang telah dirasa siap, baik secara keilmuan maupun mental, membantu menyimak sorogan. Pengajian bandongan terjadwal dalam sehari semalam pada masa KH. Bisri Mustofa meliputi pengajian kitab Alfiyyah dan Fath al-Mu’in sehabis maghrib, Tafsir Jalalain setelah jama’ah shubuh, Jam’ul Jawami’ dan …. Pada waktu Dhuha, selain itu KH. Bisri Mustofa melanjutkan tradisi KH. Cholil Kasingan mengadakan pengajian umum untuk masyarakat kampung sekitar pesantren tiap hari Selasa dan Jum’at pagi.
Metode pengajaran yang dikembangkan oleh pesantren ini pada awal berdirinya adalah murni salaf (ortodoks). Pengajaran dilakukan dengan cara bandongan (kuliah umum) dan sorogan (privat). Keduanya diampu langsung oleh KH. Bisri Mustofa sendiri. Ketika jumlah santri meningkat dan kesibukan KH. Bisri Mustofa bertambah maka beberapa santri senior yang telah dirasa siap, baik secara keilmuan maupun mental, membantu menyimak sorogan. Pengajian bandongan terjadwal dalam sehari semalam pada masa KH. Bisri Mustofa meliputi pengajian kitab Alfiyyah dan Fath al-Mu’in sehabis maghrib, Tafsir Jalalain setelah jama’ah shubuh, Jam’ul Jawami’ dan …. Pada waktu Dhuha, selain itu KH. Bisri Mustofa melanjutkan tradisi KH. Cholil Kasingan mengadakan pengajian umum untuk masyarakat kampung sekitar pesantren tiap hari Selasa dan Jum’at pagi.
1967, tiga tahun setelah putra sulung KH. Bisri Mustofa, yakni KH. M. Cholil Bisri pulang dari menuntut ilmu, KH. Cholil Bisri mengusulkan kepada ayahnya untuk mengembangkan sistem pengajaran model madrasi dengan kurikulum yang mengacu kepada kurikulum madrasah Mu’allimin Mu’allimat Makkah di samping pengajian bandongan dan sorogan. Usul ini disepakati oleh K.Bisri sehingga didirikanlah Madrasah Raudlatuth Tholibin yang terdiri dari dua jenjang yakni I’dad (kelas persiapan) waktu tempuh 3 tahun dan dilanjutkan dengan Tsanawi (kelas lanjutan) waktu tempuh 2 tahun. Pengajarnya adalah kyai-kyai di sekitar Rembang dan santri-santri senior.
1970, putra kedua beliau yakni KH. A.Mustofa Bisri, sepulang dari menuntut ilmu didesak oleh santri-santri senior untuk membuka kursus percakapan bahasa Arab. Desakan ini dikarenakan KH. Bisri Mustofa dalam banyak kesempatan hanya berkenan ngobrol dengan santri senior dengan menggunakan bahasa Arab. Dengan ijin KH. Bisri Mustofa kursus ini didirikan dengan standar kelulusan ‘kemampuan marah dalam bahasa Arab’. Pada tahun ini pula didirikan Perguruan Tinggi Raudlatuth Tholibin Fakultas Da’wah, namun karena tidak mendapatkan ijin dari pemerintah maka Perguruan Tinggi ini terpaksa ditutup setelah berjalan selama 2 tahun.
1983, putra ketiga beliau yakni KH. M. Adib Bisri mengembangkan pelatihan menulis dalam bahasa Indonesia dan menterjemahkan kitab dalam bahasa Indonesia bagi para santri. Ini terinspirasi oleh produktifitas kepenulisan KH. Bisri Mustofa dan KH. Misbah Mustofa baik dalam bahasa Indonesia, Jawa maupun dalam bahasa Arab. Pada saat yang sama kemampuan kepenulisan rata-rata santri dalam bahasa Indonesia sangatlah minim. Selain itu pada tahun itu juga didirikan Perpustakaan Pesantren sebagai sarana pendokumentasian dan sumber rujukan literer bagi para santri.
Fase Kedua
Sepeninggal KH. Bisri Mustofa, 1977, pengajaran di pesantren diampu oleh ketiga putra beliau. Madrasah tetap berjalan. Pengajian bandongan Alfiyah dan satu judul kitab fiqh yang berganti-ganti sehabis Maghrib diampu oleh KH. Cholil Bisri untuk santri-santri senior serta KH. M. Adib Bisri untuk santri-santri yunior, Tafsir Jalalain setelah Shubuh diampu oleh KH. Mustofa Bisri untuk semua santri, waktu Dhuha KH. Cholil Bisri mengajar Syarah Fath al-Muin dan Jam’ul Jawami’ untuk santri senior. Pengajian hari Selasa diampu oleh KH. Cholil Bisri dengan membacakan Ihya’ Ulumuddin. Pengajian Jum’at diampu oleh KH. Mustofa Bisri dengan membacakan Tafsir Al-Ibriz. Pada saat inilah mulai diterima santri putri.
Sepeninggal KH. Bisri Mustofa, 1977, pengajaran di pesantren diampu oleh ketiga putra beliau. Madrasah tetap berjalan. Pengajian bandongan Alfiyah dan satu judul kitab fiqh yang berganti-ganti sehabis Maghrib diampu oleh KH. Cholil Bisri untuk santri-santri senior serta KH. M. Adib Bisri untuk santri-santri yunior, Tafsir Jalalain setelah Shubuh diampu oleh KH. Mustofa Bisri untuk semua santri, waktu Dhuha KH. Cholil Bisri mengajar Syarah Fath al-Muin dan Jam’ul Jawami’ untuk santri senior. Pengajian hari Selasa diampu oleh KH. Cholil Bisri dengan membacakan Ihya’ Ulumuddin. Pengajian Jum’at diampu oleh KH. Mustofa Bisri dengan membacakan Tafsir Al-Ibriz. Pada saat inilah mulai diterima santri putri.
Sekitar akhir tahun 1989, KH. M. Adib Bisri mendirikan Madrasah Lil-Banat. Madrasah ini khusus untuk santri putri. Kurikulumnya disusun oleh ketiga bersaudara putra KH. Bisri Mustofa. Madrasah Lil Banat ini memulai kegiatan belajar mengajarnya sejak pukul 14.30 dan selesai jam 16.30. Madrasah khusus putri ini terbagi menjadi I’dad (kelas persiapan) 2 tingkatan dan Tsanawiy (lanjutan) 4 tingkatan. Pengajarnya adalah santri-santri senior.
Pada perkembangannya kemudian, mengingat jumlah santri yang semakin banyak, beberapa santri senior yang dianggap sudah cukup mumpuni diminta untuk membantu mengajar bandongan bagi para santri pemula. Pengajian setelah Shubuh diampu oleh KH. Cholil Bisri karena kesibukan KH. Mustofa Bisri. KH. Mustofa Bisri kemudian diminta mengajar khusus santri-santri yang sudah mengajar di Madrasah Raudlatuth Tholibin setiap selesai pengajian Ba’da Maghrib. Sepeninggal KH. M. Adib Bisri, 1994, pengajian ba’da Maghrib untuk santri yunior dilanjutkan oleh putra KH. Cholil Bisri yaitu KH. Yahya C. Staquf.
Madrasah tetap seperti semasa KH. Bisri Mustofa yaitu dimulai sejak pukul 10.00 sampai dengan pukul 13.00. Kurikulumnya mengacu pada Madrasah Mu’allimin Mu’allimat pada masa KH. Cholil bersekolah di sana, dengan beberapa tambahan yang disesuaikan dengan perkembangan masyarakat secara tambal sulam misalnya pernah ditambahkan materi sosiologi untuk Tsanawiyah, materi bahasa Indonesia untuk I’dad, materi bahasa Inggris untuk Tsanawiyah dan lain sebagainya. Pada tahun 2003, atas prakarsa Bisri Adib Hattani putra KH. M. Adib Bisri, dengan seijin KH. Cholil Bisri dan KH. Mustofa Bisri, diadakanlah madrasah yang masuk sore hari untuk santri-santri putra yang menempuh ‘sekolah umum’ pada pagi hari. Madrasah sore ini terdiri dari 5 tingkatan yaitu 2 tingkat I’dad dan 3 tingkat Tsanawiy. Kurikulumnya merupakan perpaduan dari Madrasah Diniyah Nawawiyah (terkenal dengan nama Madrasah Tasikagung) dan Madrasah Raudlatuth Tholibin Pagi. Kelas 3 Tsanawiyah sore beban pelajarannya setara dengan kelas 1 Madrasah Tsanawiyah pagi.
Kondisi Kontemporer
Pada tahun 2004, KH. Cholil Bisri meninggal dunia. Beberapa pengajian yang semula diampu oleh beliau sekarang diampu oleh santri-santri tua. KH. Makin Shoimuri melanjutkan pengajian bandongan ba’da Maghrib dan waktu Dluha. KH. Syarofuddin melanjutkan pengajian bandongan ba’da Shubuh selain membantu mengajar santri yunior selepas Maghrib. Pengajian bandongan santri yunior ba’da Maghrib diampu oleh beberapa orang santri senior yang dianggap sudah mumpuni. Santri senior yang sudah mengajar di madrasah dibimbing oleh KH. Mustofa Bisri dengan pengajian setiap malam selepas Isya’. Kecuali ‘santri pengajar madrasah’ semua santri mulai jam 21.00-23.00 diwajibkan berkumpul di aula-aula untuk nderes (istilah untuk mengulang pelajaran yang sudah diterima) bersama-sama.
Pada tahun 2004, KH. Cholil Bisri meninggal dunia. Beberapa pengajian yang semula diampu oleh beliau sekarang diampu oleh santri-santri tua. KH. Makin Shoimuri melanjutkan pengajian bandongan ba’da Maghrib dan waktu Dluha. KH. Syarofuddin melanjutkan pengajian bandongan ba’da Shubuh selain membantu mengajar santri yunior selepas Maghrib. Pengajian bandongan santri yunior ba’da Maghrib diampu oleh beberapa orang santri senior yang dianggap sudah mumpuni. Santri senior yang sudah mengajar di madrasah dibimbing oleh KH. Mustofa Bisri dengan pengajian setiap malam selepas Isya’. Kecuali ‘santri pengajar madrasah’ semua santri mulai jam 21.00-23.00 diwajibkan berkumpul di aula-aula untuk nderes (istilah untuk mengulang pelajaran yang sudah diterima) bersama-sama.
Hari Selasa dan Jum’at semua pengajian bandongan diliburkan. Malam Selasa seluruh santri diwajibkan untuk mengikuti munfarijahan dan latihan pidato selepas maghrib. Malam Jum’at selepas maghrib semua santri diwajibkan mengikuti keplok, yaitu membaca hapalan seribu bait Alfiyyah bersama-sama diiringi tepuk tangan. Setelah acara tersebut, sekitar pukul 22.00-23.00 diadakan musyawarah kitab yang diikuti oleh seluruh santri.
Pengajian untuk umum setiap hari Selasa yang semula diampu oleh KH. Cholil Bisri sekarang dilanjutkan oleh putra beliau yaitu KH. Yahya C. Staquf yang khusus diminta pulang dari Jakarta untuk membantu mengurusi pesantren. Pengajian hari Jum’at diampu oleh KH. Mustofa Bisri. Apabila keduanya berhalangan mengajar pada hari-hari tersebut maka KH. Syarofuddin diminta untuk menggantikan mengajar.
Santri yang berjumlah sekitar 700 orang membuat manajemen pengelolaan pun semakin kompleks. Untuk persoalan harian santri dibentuk satu kepengurusan yang terdiri atas santri-santri senior yang sudah magang mengajar. Kepengurusan ini dikoordinatori oleh seorang ketua yang dipilih oleh semua santri setiap dua tahun sekali. Santri-santri pengajar pengajian bandongan menjadi pengawas bagi berlangsungnya proses kepengurusan selama dua tahun sebagai dewan penasehat. Kesemuanya di bawah bimbingan langsung KH. Mustofa Bisri dan KH. Yahya C. Staquf yang menggantikan kedudukan ayahnya. Para santri yang mengikuti Pengajian Selasa dan Jum’at pagi biasa disebut dengan nama Jama’ah Seloso-Jemuah pun memiliki kepengurusan tersendiri yang mengurusi bantuan-bantuan kepada anggota jama’ah, ziarah-ziarah, peringatan hari-hari besar Islam dan lain sebagainya yang terkait langsung dengan masyarakat.
MATA AIR
Komunitas anak cucu Adam
“Menyembah Yang Maha Esa, Menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama“
Komunitas anak cucu Adam
“Menyembah Yang Maha Esa, Menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama“
Komunitas MataAir merupakan komunitas terbuka bagi seluruh “anak cucu Adam” yang kelahirannya dibidani oleh seorang kyai-budayawan, KH Ahmad Mustofa Bisri. Komunitas MataAir telah “mengalirkan airnya” di Surabaya, Semarang dan Jakarta. Di Jakarta, Komunitas MataAir didirikan oleh Gus Mus bersama sejumlah kyai, intelektual dan professional seperti Habib Luthfi bin Yahya, Drs. H. Maftuh Basyuni, Drs As’at Said Ali, KH Masdar F. Mas’udi, KH Muadz Thohir dan KH Thantowi Jauhari Musaddad.
Nama “MataAir” sengaja dipilih sebagai titel komunitas ini karena adanya kerinduan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang diwariskan Kanjeng Nabi Muhammad SAW dimana nilai-nilai tersebut bersumber dari “mata air” ajaran Kanjeng Nabi yang “jernih” dan belum terkontaminasi limbah peradaban modern. Para pendiri Komunitas Mata Air ingin mengajak seluruh anak cucu adam –tanpa sekat agama dan budaya- untuk melepas “dahaga spiritual”nya dengan meneguk kejernihan ajaran, nasihat dan teladan Kanjeng Nabi Muhammad SAW serta para ulama salaf langsung dari sumber aslinya, langsung dari “mata air”.
Dahaga masyarakat terhadap nilai-nilai spiritual yang menyejukkan sekaligus mencerahkan coba dipenuhi oleh Komunitas Mata Air melalui serangkaian aktivitasnya seperti Pengajian rutin tafsir Qur’an, penerbitan majalah “Mata Air” dan media online www.gusmus.net.
Sejak Agustus 2005, Komunitas MataAir telah memiliki kantor untuk beraktivitas di Jakarta. Kegiatan yang telah dilakukan antara lain:
1. Launching website www.gusmus.net. dan Refleksi Kemerdekaan, 2005
2. Bedah Buku “Arus Baru Islam Radikal” karya Imdadun Rahmat di Pusat Studi Jepang (PSJ) UI bekerjasama dengan PMII UI.
3. Pagelaran Satu Rasa Gus Mus dan Idris Sardi di Gedung Kesenian Jakarta
4. Stand “MataAir” di konferensi ICIS
5. Penerbitan buku-buku karya Gamal Al Banna
6. Diskusi “Karikatur Nabi versus Kebebasan Pers”
7. Pelatihan “Makesta Unggulan” bekerjasama dengan IPNU dan IPPNU
8. Pelatihan “Leadership Training for Student Activist”
9. Pesantren Kilat Sukses SPMB
dan lain-lain
1. Launching website www.gusmus.net. dan Refleksi Kemerdekaan, 2005
2. Bedah Buku “Arus Baru Islam Radikal” karya Imdadun Rahmat di Pusat Studi Jepang (PSJ) UI bekerjasama dengan PMII UI.
3. Pagelaran Satu Rasa Gus Mus dan Idris Sardi di Gedung Kesenian Jakarta
4. Stand “MataAir” di konferensi ICIS
5. Penerbitan buku-buku karya Gamal Al Banna
6. Diskusi “Karikatur Nabi versus Kebebasan Pers”
7. Pelatihan “Makesta Unggulan” bekerjasama dengan IPNU dan IPPNU
8. Pelatihan “Leadership Training for Student Activist”
9. Pesantren Kilat Sukses SPMB
dan lain-lain
Sesuai dengan slogannya “komunitas anak cucu Adam”, Komunitas MataAir mengajak seluruh anak cucu Adam untuk meneguk kejernihan nilai-nilai Kanjeng Nabi Muhammad SAW melalui berbagai aktivitas yang diselenggrakan Komunitas MataAir. Siapa saja anak cucu Adam yang senantiasa “menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang muda dan mengasihi sesama” dipersilahkan untuk bergabung dalam Komunitas MataAir dengan mengisi daftar anggota di login keanggotaan.
Komunitas MataAir juga menerima tulisan berupa artikel untuk dimuat dalam salah satu rubrik website www.gusmus.net.. Tulisan yang dikirimkan harap mencantumkan identitas dan nomor telepon yang bisa dihubungi. Tulisan maksimal + 5000 karakter dan dikirimkan dalam bentuk soft copy ke email redaksi di redaksi@gusmus.net.. Redaksi berhak mengedit tulisan tanpa merubah substansinya.
Saat ini, kami juga telah membuat milist Komunitas_MataAir_Jakarta@yahoogroups.com sebagai wadah komunikasi dan informasi bagi anda pengakses setia www.gusmus.net.
Bagi anda yang berdomisili di Jakarta dan sekitarnya, dapat menghadiri pengajian rutin tafsir Qur’an yang diasuh oleh KH Thonthowi Jauhari Musaddad, MA setiap Jumat malam pukul 19.00 dua minggu sekali di kantor Komunitas MataAir Tebet.
Komunitas MataAir di Jakarta juga menerbitkan buletin jumat “MataAir” yang beredar di masjid-masjid perkantoran di Jakarta. Untuk berlangganan dapat menghubungi alamat Komunitas MataAir di bawah. Infak Rp. 20.000,- per 100 eksemplar.
Berikut sejumlah masjid di Jakarta yang menjadi sasaran penyebaran buletin jumat “MataAir” :
01. Al Ittihaad, Tebet Barat
02. Namira, Tebet Barat Dalam
03. Al Abror, Jln. Soepomo
04. Ar Rahman, Jln. Sahardjo
05. Nurul Jihad, Jln. Sahardjo
06. Jami Matraman
07. Departemen Sosial, Salemba
08. SMA 68, Salemba
09. Arif Rahman Hakim (ARH), Kampus UI Salemba
10. Aula Pegadaian, Kramat Raya
11. Sunda Kelapa, Menteng
12. Cut Meutia, Menteng
13. Istiqlal
02. Namira, Tebet Barat Dalam
03. Al Abror, Jln. Soepomo
04. Ar Rahman, Jln. Sahardjo
05. Nurul Jihad, Jln. Sahardjo
06. Jami Matraman
07. Departemen Sosial, Salemba
08. SMA 68, Salemba
09. Arif Rahman Hakim (ARH), Kampus UI Salemba
10. Aula Pegadaian, Kramat Raya
11. Sunda Kelapa, Menteng
12. Cut Meutia, Menteng
13. Istiqlal
Kini, sejak bulan Mei 2007, Yayasan MataAir Jakarta telah menerbitkan Majalah MataAir “Jernih Berbagi Rahmat”. Bagi Anda yang ingin berlangganan dapat menghubungi Rokib Ismail di 08569086045.
Alamat Komunitas MataAir dan Redaksi website www.gusmus.net.
Jln. Tebet Barat VIII No. 5 Jakarta, Telp: 021-8297329, Fax : 021-8309460
Jln. Tebet Barat VIII No. 5 Jakarta, Telp: 021-8297329, Fax : 021-8309460



23.31
Posted in: